THE KING’S SORCERESS
/Prolog/
“Odessa.”
Saat itu, meski kepalaku tertunduk, aku
tahu mata semua orang tertuju kepadaku. Aku membayangkan ekspresi tercengang
mereka tanpa harus mengedarkan pandang.
Dan aku tak bisa tersinggung, karena
saat itu jantungku mungkin sudah tenggelam ke dasar perutku, yang bergejolak
lalu berusaha memuntahkannya keluar. Bersama sejuta pemahaman yang gagal untuk
dicerna.
Bagaimana bisa?
Tidak mungkin aku.
Aku mendongak, mencari wajah ayahku.
Dari sisi ruangan tempatnya berdiri, ayah memandangku sendu. Namun aku tak bisa
membaca petunjuk apapun dari ekspresinya.
Apakah dia sudah tahu?
Tapi...
kenapa?
Ini pasti sebuah kesalahan.
Begitulah yang kuyakini sampai
perlahan-lahan aku memberanikan diri mengangkat pandang, menghadapi orang yang menjatuhkan
pilihannya. Sepasang matanya dingin. Biru. Tegas. Aku bahkan tak melihatnya
berkedip.
Dan aku pun tahu bahwa sang Pangeran
tidak sedang membuat kesalahan.
“Aku memilih Odessa Swerving sebagai
tunanganku,” katanya sekali lagi, mematikan segala sisa-sisa peluang untuk
meragukannya. “Kuharap kau tidak berkeberatan aku memilih putri kesayanganmu,”
tambahnya dengan satu sentakan dagu yang luwes, melemparkan pusat perhatian
kepada ayah.
Ayah menggeleng, mengabaikan
tanda-tanda kepanikan yang kuisyaratkan padanya, serta kebingungan semua orang
dari segala penjuru ruangan. Dia tersenyum samar. “Aku menyayangi ketiga
putriku sama rata, Yang Mulia,” jawabnya tenang. “Tapi aku yakin Odessa tidak
akan mengecewakan Anda.”
Aku tak seyakin itu. Aku tak yakin akan
apapun. Ruangan serasa berpusing dengan cepat, dan aku cemas aku akan pingsan.
Tapi kalau ada satu hal yang saja bisa kuyakini, itu adalah betapa semua orang
akan semakin membenciku apabila aku tidak berpura-pura bahwa aku baru saja
menerima kehormatan besar.
Sebab aku tahu itulah yang diimani oleh
kedua kakakku sejak segala kericuhan masalah pertunangan ini dimulai sebulan
yang lalu—yang sekarang keduanya tak berani kupandang. Yang keduanya tengah
berdiri di sisi kiri dan kananku, tenang, menunggu... barangkali sambil terbakar
api kecemburuan dari dalam.
Kenapa aku?
Hanya ada satu jawaban yang terpikir.
Aku berusaha meluruskan kerutan di
dahiku, mengatur ulang napasku yang memburu dan mengabaikan desis bisik-bisik
yang memenuhi ruangan. Semua harus kulakukan di bawah tatapan sang Putra
Mahkota yang lurus menghujam, menilai.
“A-aku...”
Aku mengutuk diri sendiri dalam hati,
berusaha mengumpulkan keberanian.
“Terima kasih sudah memilihku, Yang
Mulia,” ujarku dengan susah payah, dan setidaknya aku masih ingat untuk
membungkuk dalam-dalam, seperti yang diajarkan oleh ibu. “Aku... tidak akan mengecewakanmu.”
###
Belum genap tiga puluh hari yang lalu,
manor kecil keluarga kami dikejutkan dengan datangnya surat kecil dari
Kerajaan, yang isinya adalah rencana kunjungan sang pewaris takhta Escoblanc,
Pangeran Emdel, untuk menemui ayah, sang kepala keluarga Swerving.
Keluarga kami, yang kendatipun adalah
keluarga yang sudah melayani Kerajaan selama berabad-abad lamanya, bukanlah
keluarga bangsawan besar terpandang dengan jumlah pengikut ribuan orang
banyaknya. Keluarga Swerving hanya memiliki sebidang tanah kecil di penghujung kepulauan
barat daya yang hijau di sepanjang tahunnya, dan pengikut kami hanyalah para
petani sederhana yang jumlahnya hanya seratus orang.
Seumur hidupku, utusan kerajaan datang
paling banyak lima kali setahun. Dua kali untuk kepentingan pajak, dan sisanya
untuk menyampaikan undangan pesta kebesaran untuk ayah dan ibu.
Ibu bilang, dia bahkan tak berani
bermimpi untuk menunangkan salah satu anak perempuannya dengan klan Amberwulfet—apalagi
dengan sang Putra Mahkota sendiri.
Walau tentu saja, keluarga kami memiliki
reputasi tersendiri. Kebanyakan tidak ada hubungannya denganku.
Ayahku, yang dipanggil Tuan Besar, konon
adalah keturunan murni terakhir bangsa Ivolis—penduduk Bumi Elas pertama, walau
dirinya selalu berkelakar hal tersebut tidak membuatnya berbeda dengan manusia
biasa—yang sama sekali tidaklah salah. Kulit ayah hanya lebih kehijauan saja,
kadang-kadang kalau ditimpa cahaya matahari.
Ibuku, yang dipanggil Nyonya, menyandang
nama keluarga Mavelyr—salah satu keluarga bangsawan yang terdekat dengan Raja,
sewaktu masih muda. Dia menikah dengan ayah pada saat usianya delapan belas
tahun, lalu mewariskan warna kulit pucat dan bibir sewarna apel-yang-baru-saja-matang
pada ketiga orang puterinya, namun mewariskan rambutnya yang keperakan, tebal,
dan halus pada dua dari ketiganya saja.
Kakak pertamaku, Oletta, dibanggakan
oleh ibu karena terlahir lebih cantik darinya. Oletta tidaklah terlalu tinggi,
tapi tubuhnya ramping, dan berlakuk di tempat-tempat yang pas. Saat sesuatu
membuatnya tertawa, dia menunduk, kemudian mendongak, baru perlahan-lahan melebarkan
senyumannya. Gestur ini membuat banyak pemuda tergila-gila. Setiap hari Oletta
menerima lebih banyak surat daripada ayah, dan sejauh ini sudah menolak halus
pendekatan enam ahli waris bangsawan tetangga... sejauh yang kuingat.
Olevia, kakakku yang lebih muda, adalah
kebalikan dari Oletta. Olevia sangat-sangat kuat semenjak dirinya masih berumur
delapan tahun, tanpa berkeringat merobohkan tiga anak laki-laki yang memaksaku
memegang kadal pada saat pesta kebun. Ayah memanggil seorang ahli seni pedang
untuk mengajarinya tiga minggu sekali. Walau hampir setara cantiknya dengan
Oletta, dan bisa bersikap sama anggunnya kalau dia mau, Olevia memotong
rambutnya hingga pendek seperti laki-laki dan membuat ibu sakit kepala.
Aku memandang pantulanku di cermin,
menggelengkan kepala.
Tak ada penjelasan wajar atas Pangeran
Emdel yang memilihku dibandingkan mereka berdua. Sejak awal, semua bertaruh lima
puluh keping emas—sang Pangeran akan bertunangan dengan Oletta yang cantik dan beberapa
tahun mendatang akan bertumbuh menjadi wanita yang cocok memakai atribut
seorang Ratu, atau lima puluh keping emas—sang Pangeran pasti lebih menyukai
Olevia yang tangguh dan mampu maju ke medan perang untuk bertempur di sisinya.
Tidak ada yang bertaruh sekepingpun
untuk Odessa, si puteri ketiga yang tidak cantik, kecil, kurus, pemalu dan
ceroboh, serta gemar mengurung diri di perpustakaan manor. Sangat membosankan.
Sangat tidak terlihat. Dan sangat mustahil untuk ditunangkan dengan seorang
pewaris takhta.
Kecuali...
Pangeran
Emdel mengetahui sebuah rahasia yang seharusnya tak diketahui olehnya.
Tanganku terjulur, meraba permukaan
kaca yang dingin, membayangkannya sebagai permukaan air yang jernih. Dingin,
seperti Pangeran Emdel. Caranya menatapku. Dan suaranya. Dingin, seperti rasa
takut.
Kuharap
malam ini hujan, doaku. Hari ini dan
besok. Atau lusa. Apabila terjadi badai, mungkin aku tak harus cepat-cepat
pergi ke ibukota. Dan sang Pangeran akan tinggal lebih lama, kemudian menyadari
bahwa dia jatuh cinta pada Oletta atau semacam itu.
Rintik-rintik hujan terdengar menjatuhi
bingkai jendela, satu demi satu, berlomba dengan jalannya jarum detik. Semakin lama
semakin jelas. Hujan semakin deras.
Ayah mungkin akan marah kalau dia tahu
apa yang kuperbuat.
Tapi dia juga tak memberitahuku apa-apa—yang
tidaklah adil.
Pertunangan ini tak wajar sejak
awalnya. Apalah artinya keluarga Swerving dibandingkan keluarga bangsawan lain
yang lebih kaya dan berpengaruh? Dan seolah itu masih lazim, Pangeran Emdel juga
memilih puteri yang paling tidak masuk akal di mata umum.
Karena
dia tahu.
Aku beranjak memandang keluar jendela, mengingat-ingat
hari itu. Dimana untuk pertama kalinya aku berhadapan langsung dengan Putera
Mahkota Kerajaan Escoblanc. Saat aku melakukan kesalahan yang teramat fatal.
Dia
tahu karena itu.
Sang Pangeran tahu bahwa aku adalah
satu-satunya puteri Abraham Swerving yang bisa mengendalikan Elasar, dan
mungkin satu-satunya keturunan yang memiliki kemampuan tersebut dalam dua abad
terakhir.
###