Notes:
Sebenernya, udah dari lama saya kepengen bikin cerita romance dimana kedua tokohnya secara sadar saling mencari, padahal mereka belum pernah bertemu sebelumnya. Dan setelah dengerin lagu Last Romeo-nya Infinite, somehow saya ngedapetin feel yang tepat buat nulis, plus ide buat ngejadiin konsep itu sebagai salah satu cerpen Kerajaan Hati. Dan ternyata (saya sih berasanya) pas, mengingat naturenya proyek KH ini yang memang-harus-surealis-karena-simbolis. Yes, in case you didn't realize it, cerpen-cerpen Kerajaan Hati saya selalu dimaksudkan sebagai analogi dari hal-hal yang biasa terjadi berkenaan dengan romance. Yang ini pun juga.
Ngomong begitu pun, ini jadinya nggak semenyentuh yang saya rencanain. :( Entah emang sayanya yang kurang mateng mikirinnya, atau masalahnya pada style narasi saya yang emang makin kesini makin shitty. Still, saya senang karena akhirnya salah satu ide liar saya terwujud menjadi sebuah tulisan.
Udah pernah saya post di facebook sebelumnya. Ada beberapa revisi sebelum sampai disini, tapi minor doang. Hope whoever reading this can enjoy.
***
Seorang Putri dari suatu
Kerajaan yang jauh terlahir dengan membawa kutukan. Kutukan itu adalah berupa
Kegelapan yang akan memburu sang Putri sepanjang hayatnya. Takdir mengatakan
bahwa jika Kegelapan berhasil menangkapnya, Jantung Hatinya akan dimangsa dan
dengan begitu, maka dia akan mati.
Konon, hanya ada satu
cara untuk menyelamatkan sang Putri dari Kegelapan.
“Sepertinya kutukan ini
dapat dipatahkan jika sang Putri menukarkan permata Jantung Hatinya dengan
milik seorang yang lain,” Ardiel, sang Pelindung istana mengajukan saran.
Mendengar ini, Ibunda
sang Putri menjadi khawatir, namun tak punya pilihan lain. Masalah Pertukaran Jantung
Hati bukanlah hal sederhana, dan prosesnya akan memakan waktu lama sekali.
Sedangkan apapun mungkin terjadi selama mereka belum menemukan orangnya.
Kegelapan bisa saja menemukan sang Putri lebih dulu.
***
Semua orang percaya bahwa
pada hakikatnya, permata Jantung Hati tercipta berpasangan. Itu sebabnya
orang-orang mengenali Pasangannya begitu saling jumpa, sebelum mereka akhirnya
mengadakan Pertukaran.
Resonansi. Kata mereka, itulah yang terjadi. Bahkan ketika para
pemiliknya tidak sadar, kedua Jantung Hati saling mencari. Saling memanggil,
dan saling menjawab. Mereka berputar mengikuti arah yang sama, dan berdegup
seirama. Ketika seseorang menyimak dan memahami getaran Resonansi di dalam
dadanya, dia akan menemukan Pasangannya.
Maka, dengan berbekal
keyakinan ini, sang Putri yang sudah beranjak dewasa berangkat mengikuti petunjuk
Resonansi.
Perjalanan sang Putri
tidaklah mudah, karena dia juga harus cepat dan siaga agar tidak tertangkap
oleh Kegelapan yang memburunya. Sekarang, karena dia tidak lagi terlindung di
balik dinding tebal istana, sudah tak ada lagi yang menyembunyikannya dari
musuh besarnya itu.
Sang Putri harus
bergegas. Waktunya tidak banyak.
Hari demi hari berlalu.
Sang Putri terus menyusur jalan. Ke arah mana, dia tidak tahu. Dia sepenuhnya
berserah pada getaran Resonansi yang menuntunnya. Namun semakin lama, dia
menjadi ragu, sebab dari sekian banyak orang yang dijumpainya dalam perjalanan,
Jantung Hatinya tak memberikan getaran yang berbeda pada siapapun.
Apa yang salah? Sang Putri membatin.
Mungkinkah aku tidak cukup teliti mendengarkan?
Apakah selama ini aku mencari
ke tempat yang salah?
Beberapa saat terbuang
sementara Sang Putri merenungkan apakah sebaiknya dia maju terus atau berbalik
arah. Hingga tiba-tiba, pada suatu siang ketika dia menelengkan kepala ke
belakang, sang Putri menemukan bahwa ujung langit berubah hitam pekat pada arah
yang ditinggalkannya. Hanya butuh waktu beberapa detik baginya untuk memahami betapa
bidang kehitaman itu tidak mungkin berhenti sampai di sana.
Kegelapan mengejarnya di
belakang.
***
Sang Putri mempercepat
langkahnya. Selama sesaat, yang dia pikirkan hanyalah bagaimana caranya
menambah jarak di antara dirinya dengan Kegelapan. Untungnya pada suatu titik
perjalanan terdapat tembok-tembok tinggi di kedua sisi jalan. Sang Putri
berharap agar setidaknya keberadaan perlindungan kecil ini membuatnya sedikit
tersembunyi.
Lama kemudian, ketika
tembok-tembok di kedua sisi jalan menjadi lebih tinggi lagi, dia berpikir bahwa
mungkin memfokuskan dirinya untuk menghindari Kegelapan tak banyak gunanya.
Kalau dia berhasil menemukan Pasangan Jantung Hatinya, dia akan mematahkan
kutukan itu untuk selamanya, jadi mestinya itulah yang menjadi prioritasnya.
Maka sang Putri kembali
berkonsentrasi untuk mendengarkan getaran Resonansi. Namun, yang dia dapati
adalah getaran yang bahkan lebih lemah dibandingkan sebelumnya.
Apakah ini artinya aku malah semakin menjauh? Sang Putri bertanya dalam hati, kecewa
dan juga terheran-heran.
Kembali, sang Putri
merenungkan keputusan apa yang harus diambilnya. Sementara dia tak tahu arah,
kembali ke tempat semula artinya menyongsong Kegelapan, sedangkan maju
melanjutkan perjalanan terasa tak memberi kepastian apapun. Ketika akhirnya dalam
keputusasaannya sang Putri berusaha mendapat gambaran jelas mengenai keadaan
sekelilingnya, dia menyadari satu hal lain.
Tembok-tembok yang
memagari jalan kini sudah menjadi terlalu tinggi hingga menghalangi datangnya
sinar matahari. Tak memberi celah maupun petunjuk apapun mengenai ke arah mana
dia harus melanjutkan. Tahu-tahu saja sang Putri terperangkap di tengah-tengah
labirin.
***
Dengan Kegelapan yang
kian mendekat, dan getaran Resonansi yang kian melemah, sang Putri merasa
harapannya untuk selamat kian menipis. Dalam usaha terakhir untuk menyelamatkan
diri, sang Putri berdiri diam di tepian jalan, mengamat-amati orang-orang yang
berlalu lalang di tengah Labirin. Menunggu, siapa tahu ada yang mau menukarkan
Jantung Hatinya.
Seseorang datang
menghampiri untuk mencoba, namun akhirnya mereka sepakat bahwa Pertukaran tak
bisa dilaksanakan karena kedua permata Jantung Hati tidak cocok dengan rongga
yang dimiliki oleh masing-masing.
Seorang yang lain
menghampiri sang Putri lama kemudian. Tetapi akhirnya pergi dengan mengejek.
“Kau terkena kutukan yang
mengerikan, Nona. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi padaku jika aku
membiarkanmu memiliki Jantung Hatiku?” katanya sambil menjauh.
Sang Putri teringat akan
perkataan semua orang di masa lalunya, dan entah bagaimana tidak merasa
terkejut mendapati seluruh percobaan ini berakhir dengan kegagalan. Sebab tiada
satupun dari kedua pelamar ini yang menimbulkan getaran Resonansi pada Jantung
Hatinya. Belum lagi, dirasanya bahwa perkataan si pelamar terakhir ada
benarnya. Siapa juga yang mau menanggung resiko sebesar mempercayakan Jantung
Hatinya pada seseorang yang sudah ditandai oleh Kegelapan?
Orang ketiga datang
menghampiri, namun sebelum mereka sanggup saling berbicara satu sama lain,
keadaan menjadi gelap gulita dan semua orang kabur pontang-panting—termasuk
orang yang terakhir ini. Sang Putri memandang angkasa, memekik pada warna
langit yang menyerukan peringatan bahwa waktunya sudah nyaris tak bersisa.
***
Kegelapan mengintai. Sang
Putri tak perlu menoleh untuk mengetahuinya. Angin menderu di belakang sana,
membisikkan tawa keji dan seribu kejahatan, sementara sang Putri memaksa kedua
kakinya yang lelah untuk berlari. Ketakutan dan tak bisa berpikir jernih, sang
Putri melarikan diri tanpa tahu kemana belokan-belokan Labirin membawa pergi.
Meski saat ini sang Putri
berdoa dan berharap dengan setiap serat dalam tubuhnya bahwa dia ingin
menjumpai si pemilik Jantung Hati yang satunya,
getaran Resonansi telah sepenuhnya tenggelam di balik gemuruh ketakutan.
Dia tak bisa lagi merasakannya, apalagi mendengarnya bicara.
Di mana...? Tolonglah aku!
Sang Putri tak bisa lagi
memaksa dirinya berlari. Kekuatan telah pergi darinya, meninggalkannya jatuh
tersungkur menabrak permukaan jalan yang berbatu dan berumput. Tepat ketika
dipikirnya kesadarannya juga akan pergi, sepasang tangan kecil menyangga
tubuhnya.
“Yang Mulia!” Sebuah
suara memanggil. “Bangunlah, Yang Mulia. Kau tak akan bisa menyelamatkan diri
dengan cara seperti ini...”
Dengan sisa-sisa
tenaganya, sang Putri mendongak.
“Ardiel, Pelindungku,
apakah itu kau?”
“Ini aku, Yang Mulia. Aku
datang untukmu... Ini mungkin kesempatan terakhirku.”
“Maafkan aku karena telah
mengecewakanmu, Ardiel. Tempat ini akan segera musnah. Aku tak bisa lagi mendengar
Resonansi dan menemukan orang yang bisa menyelamatkanku...”
“Tidak, Yang Mulia. Tentu
saja kau tidak bisa mendengarnya. Getaran Resonansi dalam hatimu telah tertutup
oleh suara-suara lain yang lebih keras. Suara Kegelapan... Kau membiarkannya
menguasai dirimu. Karena itulah dia bisa menemukanmu.”
Sang Putri duduk
terkulai, putus harapan. “Kalau begitu, tiada lagi yang dapat kulakukan?”
“Ada!” seru sang
Pelindung penuh keyakinan. “Kau hanya perlu mendengarkan dengan lebih bijaksana,
Yang Mulia. Ingatlah bahwa di tempat yang jujur ini, sekecil apapun hal yang
kaulakukan mencerminkan dirimu yang seutuhnya. Jika kau berpaling melarikan
diri dari sesuatu yang ingin kaulakukan, itu artinya ada hal lain yang lebih
penting bagimu... Pikirkanlah Yang Mulia, apa yang sesungguhnya kauinginkan?”
Kegelapan menyapa dengan bergemuruh.
Lolongannya meniup sisa perkataan sang Pelindung, dan juga membuyarkan sosoknya
menjadi kekosongan. Setelah menghabiskan sepanjang hidupnya berlindung dan melarikan
diri, kini tibalah saatnya dimana sang Putri berhadapan secara langsung dengan
musuh besarnya. Dia bisa mendengar Jantung Hatinya berdetak. Itu bukanlah
getaran Resonansi. Itu Ketakutan.
Suara Kegelapan.
Selama sesaat, rasanya
sang Putri hanya perlu menunggu dan membiarkan Kegelapan menjalankan takdirnya.
Mengubah kutukan menjadi kenyataan.
Tetapi samar-samar
terdengar suara lain dari dasar hatinya. Sebagian kecil yang belum sepenuhnya
menyerah. Masih ingin hidup. Belum ingin mati.
Apakah yang sesungguhnya aku inginkan?
Sesungguhnya dia ingin
melawan, kalau saja dia bisa... Kalau saja dia sendiri sudah cukup.
Atau mungkin itulah yang dimaksudkan
oleh Ardiel? Bahwa usahanya sejauh ini bukanlah karena dia ingin menemukan
penyelamatnya, melainkan bahwa dia ingin selamat?
Sang Putri teringat penolakan dari salah satu dari orang yang menawarkan diri
untuk bertukar Jantung Hati dengannya. Yang menghambatnya selama ini bukanlah
fakta bahwa tak ada yang ingin mempercayakan Jantung Hati kepadanya, melainkan
bahwa dia sudah ‘ditandai’ oleh Kegelapan. Itulah masalahnya.
Merasakan ketiadaan
perlawanan, Kegelapan menjulurkan tangannya yang kurus, buruk, dan berkeropeng.
Perlahan tapi pasti, beranjak untuk mengambil apa yang diinginkannya selama
ini. Jantung Hati milik sang Putri.
Persis pada saat itu
juga, keping-keping pemahaman menjadi satu, merupa kemarahan yang kemudian
menggelegak menguasai sang empunya Jantung Hati.
Sang Putri membenci
Kegelapan. Dia membenci fakta bahwa Kegelapan telah membuat hidupnya selama ini
dipenuhi dengan Ketakutan. Dia membenci kenyataan bahwa selama ini dia tidak
berdaya. Dan tidak akan pernah dia sudi menyerahkan Jantung Hatinya secara
sukarela kepada Kegelapan. Dengan atau tanpa pasangan Jantung Hatinya.
“Tidak... Tidak!” Sang Putri menggenggam permata
Jantung Hatinya kuat-kuat, menolak menyerahkannya kepada musuhnya. “Tidak akan!”
Yang dia inginkan adalah supaya dia menjadi
lebih kuat. Lebih tegar. Lebih berani. Supaya dia bisa menghadapi Kegelapan
ini.
***
Di balik sepasang mata
sang Putri yang terpejam rapat, hitam pekat terburai oleh datangnya cahaya
putih menyilaukan. Terselip di antara jemarinya yang tidak bisa dia lihat, sang
Putri bisa merasakan betapa Jantung Hatinya bergetar dengan cara yang tidak
pernah dia rasakan sebelumnya.
Seseorang bicara
kepadanya. Jauh, tetapi dekat. Dengan suara yang tak pernah didengarnya sebelum
ini, tetapi dikenalnya dengan sangat baik.
Aku mendengarmu memanggilku.
Aku ingin berjumpa denganmu.
Tidak apa-apa. Kita pasti bisa bertemu secepatnya.
...Jadilah berani.
Dalam suara-suara itu, terdapat
kehangatan yang memenuhi rongga dada sang Putri dengan kekuatan yang tak pernah
dia miliki sebelum ini. Maka jadilah dia berani, sesuai dengan apa yang
dikatakannya. Untuk membuka matanya, dan menghadapi Kegelapan. Untuk menang
atasnya.
Dan yang terpenting, untuk
hidup.
Ledakan cahaya yang
menyilaukan mata menghancurkan tembok-tembok yang membangun labirin di
sekeliling mereka. Kekuatan misterius itu menyapu Kegelapan, yang mengeluarkan lolongan
tajam sebelum sinar putih menghanguskannya menjadi abu, kemudian terbawa angin
menuju ketiadaan. Sang Putri sendiri terhempas, limbung, dan jatuh bersama
hujan debu serta puing-puing. Kesadarannya perlahan menghilang.
Tunggulah aku.
***
Beberapa tahun kemudian,
tempat itu sudah bukan lagi seperti apa yang Sang Putri kenal. Tidak ada lagi
jalanan setapak yang gersang. Tidak ada lagi tembok-tembok yang membentengi
seluruh hidupnya. Angkasa terbentang lebih luas daripada jangkauan pandangnya,
dan begitu juga permukaan danau, dan padang rumput berselimut bunga. Matahari
bersinar terang, dan Kegelapan sudah musnah untuk selama-lamanya.
Dia akan hidup. Jantung
Hatinya baik-baik saja, bergetar, dan memenuhi perasaannya dengan kehangatan.
Seolah menandakan kehadiran yang semakin lama semakin dekat. Kehadiran yang
sudah sejak lama dia nantikan.
Sang Putri mendongak, dan
menemukan orang yang selama ini dinantikannya tak jauh di sana. Tersenyum
lebar, sebab sesungguhnya mereka sudah lama saling mengenal, meskipun ini
adalah kali pertama mereka berjumpa.
Sang Putri balas menyunggingkan
senyum. Sebuah senyuman untuk mengakhiri masa-masa kelam dan sepi di belakang
sana. Yang lebih penting adalah masa kini, ketika mereka sudah sama-sama tahu
bahwa masing-masing akhirnya sempurna bagi yang lain.
Dan juga bahwa betapa
akhirnya Resonansi telah mempertemukan mereka.
***Tamat***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar