Sabtu, 27 September 2014

Kerajaan Hati: Tentang Resonansi



Notes:
Sebenernya, udah dari lama saya kepengen bikin cerita romance dimana kedua tokohnya secara sadar saling mencari, padahal mereka belum pernah bertemu sebelumnya. Dan setelah dengerin lagu Last Romeo-nya Infinite, somehow saya ngedapetin feel yang tepat buat nulis, plus ide buat ngejadiin konsep itu sebagai salah satu cerpen Kerajaan Hati. Dan ternyata (saya sih berasanya) pas, mengingat naturenya proyek KH ini yang memang-harus-surealis-karena-simbolis. Yes, in case you didn't realize it, cerpen-cerpen Kerajaan Hati saya selalu dimaksudkan sebagai analogi dari hal-hal yang biasa terjadi berkenaan dengan romance. Yang ini pun juga.

Ngomong begitu pun, ini jadinya nggak semenyentuh yang saya rencanain. :( Entah emang sayanya yang kurang mateng mikirinnya, atau masalahnya pada style narasi saya yang emang makin kesini makin shitty. Still, saya senang karena akhirnya salah satu ide liar saya terwujud menjadi sebuah tulisan.

Udah pernah saya post di facebook sebelumnya. Ada beberapa revisi sebelum sampai disini, tapi minor doang. Hope whoever reading this can enjoy.
 
***


Seorang Putri dari suatu Kerajaan yang jauh terlahir dengan membawa kutukan. Kutukan itu adalah berupa Kegelapan yang akan memburu sang Putri sepanjang hayatnya. Takdir mengatakan bahwa jika Kegelapan berhasil menangkapnya, Jantung Hatinya akan dimangsa dan dengan begitu, maka dia akan mati.

Konon, hanya ada satu cara untuk menyelamatkan sang Putri dari Kegelapan.

“Sepertinya kutukan ini dapat dipatahkan jika sang Putri menukarkan permata Jantung Hatinya dengan milik seorang yang lain,” Ardiel, sang Pelindung istana mengajukan saran.

Mendengar ini, Ibunda sang Putri menjadi khawatir, namun tak punya pilihan lain. Masalah Pertukaran Jantung Hati bukanlah hal sederhana, dan prosesnya akan memakan waktu lama sekali. Sedangkan apapun mungkin terjadi selama mereka belum menemukan orangnya. Kegelapan bisa saja menemukan sang Putri lebih dulu.

***

Semua orang percaya bahwa pada hakikatnya, permata Jantung Hati tercipta berpasangan. Itu sebabnya orang-orang mengenali Pasangannya begitu saling jumpa, sebelum mereka akhirnya mengadakan Pertukaran.

Resonansi. Kata mereka, itulah yang terjadi. Bahkan ketika para pemiliknya tidak sadar, kedua Jantung Hati saling mencari. Saling memanggil, dan saling menjawab. Mereka berputar mengikuti arah yang sama, dan berdegup seirama. Ketika seseorang menyimak dan memahami getaran Resonansi di dalam dadanya, dia akan menemukan Pasangannya.

Maka, dengan berbekal keyakinan ini, sang Putri yang sudah beranjak dewasa berangkat mengikuti petunjuk Resonansi.

Perjalanan sang Putri tidaklah mudah, karena dia juga harus cepat dan siaga agar tidak tertangkap oleh Kegelapan yang memburunya. Sekarang, karena dia tidak lagi terlindung di balik dinding tebal istana, sudah tak ada lagi yang menyembunyikannya dari musuh besarnya itu.

Sang Putri harus bergegas. Waktunya tidak banyak.

Hari demi hari berlalu. Sang Putri terus menyusur jalan. Ke arah mana, dia tidak tahu. Dia sepenuhnya berserah pada getaran Resonansi yang menuntunnya. Namun semakin lama, dia menjadi ragu, sebab dari sekian banyak orang yang dijumpainya dalam perjalanan, Jantung Hatinya tak memberikan getaran yang berbeda pada siapapun.

Apa yang salah? Sang Putri membatin.

Mungkinkah aku tidak cukup teliti mendengarkan?

 Apakah selama ini aku mencari ke tempat yang salah?

Beberapa saat terbuang sementara Sang Putri merenungkan apakah sebaiknya dia maju terus atau berbalik arah. Hingga tiba-tiba, pada suatu siang ketika dia menelengkan kepala ke belakang, sang Putri menemukan bahwa ujung langit berubah hitam pekat pada arah yang ditinggalkannya. Hanya butuh waktu beberapa detik baginya untuk memahami betapa bidang kehitaman itu tidak mungkin berhenti sampai di sana.

Kegelapan mengejarnya di belakang.

***

Sang Putri mempercepat langkahnya. Selama sesaat, yang dia pikirkan hanyalah bagaimana caranya menambah jarak di antara dirinya dengan Kegelapan. Untungnya pada suatu titik perjalanan terdapat tembok-tembok tinggi di kedua sisi jalan. Sang Putri berharap agar setidaknya keberadaan perlindungan kecil ini membuatnya sedikit tersembunyi.

Lama kemudian, ketika tembok-tembok di kedua sisi jalan menjadi lebih tinggi lagi, dia berpikir bahwa mungkin memfokuskan dirinya untuk menghindari Kegelapan tak banyak gunanya. Kalau dia berhasil menemukan Pasangan Jantung Hatinya, dia akan mematahkan kutukan itu untuk selamanya, jadi mestinya itulah yang menjadi prioritasnya.

Maka sang Putri kembali berkonsentrasi untuk mendengarkan getaran Resonansi. Namun, yang dia dapati adalah getaran yang bahkan lebih lemah dibandingkan sebelumnya.

Apakah ini artinya aku malah semakin menjauh? Sang Putri bertanya dalam hati, kecewa dan juga terheran-heran.

Kembali, sang Putri merenungkan keputusan apa yang harus diambilnya. Sementara dia tak tahu arah, kembali ke tempat semula artinya menyongsong Kegelapan, sedangkan maju melanjutkan perjalanan terasa tak memberi kepastian apapun. Ketika akhirnya dalam keputusasaannya sang Putri berusaha mendapat gambaran jelas mengenai keadaan sekelilingnya, dia menyadari satu hal lain.

Tembok-tembok yang memagari jalan kini sudah menjadi terlalu tinggi hingga menghalangi datangnya sinar matahari. Tak memberi celah maupun petunjuk apapun mengenai ke arah mana dia harus melanjutkan. Tahu-tahu saja sang Putri terperangkap di tengah-tengah labirin.

***

Dengan Kegelapan yang kian mendekat, dan getaran Resonansi yang kian melemah, sang Putri merasa harapannya untuk selamat kian menipis. Dalam usaha terakhir untuk menyelamatkan diri, sang Putri berdiri diam di tepian jalan, mengamat-amati orang-orang yang berlalu lalang di tengah Labirin. Menunggu, siapa tahu ada yang mau menukarkan Jantung Hatinya.

Seseorang datang menghampiri untuk mencoba, namun akhirnya mereka sepakat bahwa Pertukaran tak bisa dilaksanakan karena kedua permata Jantung Hati tidak cocok dengan rongga yang dimiliki oleh masing-masing.

Seorang yang lain menghampiri sang Putri lama kemudian. Tetapi akhirnya pergi dengan mengejek.

“Kau terkena kutukan yang mengerikan, Nona. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi padaku jika aku membiarkanmu memiliki Jantung Hatiku?” katanya sambil menjauh.

Sang Putri teringat akan perkataan semua orang di masa lalunya, dan entah bagaimana tidak merasa terkejut mendapati seluruh percobaan ini berakhir dengan kegagalan. Sebab tiada satupun dari kedua pelamar ini yang menimbulkan getaran Resonansi pada Jantung Hatinya. Belum lagi, dirasanya bahwa perkataan si pelamar terakhir ada benarnya. Siapa juga yang mau menanggung resiko sebesar mempercayakan Jantung Hatinya pada seseorang yang sudah ditandai oleh Kegelapan?

Orang ketiga datang menghampiri, namun sebelum mereka sanggup saling berbicara satu sama lain, keadaan menjadi gelap gulita dan semua orang kabur pontang-panting—termasuk orang yang terakhir ini. Sang Putri memandang angkasa, memekik pada warna langit yang menyerukan peringatan bahwa waktunya sudah nyaris tak bersisa.

***

Kegelapan mengintai. Sang Putri tak perlu menoleh untuk mengetahuinya. Angin menderu di belakang sana, membisikkan tawa keji dan seribu kejahatan, sementara sang Putri memaksa kedua kakinya yang lelah untuk berlari. Ketakutan dan tak bisa berpikir jernih, sang Putri melarikan diri tanpa tahu kemana belokan-belokan Labirin membawa pergi.

Meski saat ini sang Putri berdoa dan berharap dengan setiap serat dalam tubuhnya bahwa dia ingin menjumpai si pemilik Jantung Hati yang satunya,  getaran Resonansi telah sepenuhnya tenggelam di balik gemuruh ketakutan. Dia tak bisa lagi merasakannya, apalagi mendengarnya bicara.

Di mana...? Tolonglah aku!

Sang Putri tak bisa lagi memaksa dirinya berlari. Kekuatan telah pergi darinya, meninggalkannya jatuh tersungkur menabrak permukaan jalan yang berbatu dan berumput. Tepat ketika dipikirnya kesadarannya juga akan pergi, sepasang tangan kecil menyangga tubuhnya.

“Yang Mulia!” Sebuah suara memanggil. “Bangunlah, Yang Mulia. Kau tak akan bisa menyelamatkan diri dengan cara seperti ini...”

Dengan sisa-sisa tenaganya, sang Putri mendongak.

“Ardiel, Pelindungku, apakah itu kau?”

“Ini aku, Yang Mulia. Aku datang untukmu... Ini mungkin kesempatan terakhirku.”

“Maafkan aku karena telah mengecewakanmu, Ardiel. Tempat ini akan segera musnah. Aku tak bisa lagi mendengar Resonansi dan menemukan orang yang bisa menyelamatkanku...”

“Tidak, Yang Mulia. Tentu saja kau tidak bisa mendengarnya. Getaran Resonansi dalam hatimu telah tertutup oleh suara-suara lain yang lebih keras. Suara Kegelapan... Kau membiarkannya menguasai dirimu. Karena itulah dia bisa menemukanmu.”

Sang Putri duduk terkulai, putus harapan. “Kalau begitu, tiada lagi yang dapat kulakukan?”

“Ada!” seru sang Pelindung penuh keyakinan. “Kau hanya perlu mendengarkan dengan lebih bijaksana, Yang Mulia. Ingatlah bahwa di tempat yang jujur ini, sekecil apapun hal yang kaulakukan mencerminkan dirimu yang seutuhnya. Jika kau berpaling melarikan diri dari sesuatu yang ingin kaulakukan, itu artinya ada hal lain yang lebih penting bagimu... Pikirkanlah Yang Mulia, apa yang sesungguhnya kauinginkan?”

Kegelapan menyapa dengan bergemuruh. Lolongannya meniup sisa perkataan sang Pelindung, dan juga membuyarkan sosoknya menjadi kekosongan. Setelah menghabiskan sepanjang hidupnya berlindung dan melarikan diri, kini tibalah saatnya dimana sang Putri berhadapan secara langsung dengan musuh besarnya. Dia bisa mendengar Jantung Hatinya berdetak. Itu bukanlah getaran Resonansi. Itu Ketakutan.

Suara Kegelapan.

Selama sesaat, rasanya sang Putri hanya perlu menunggu dan membiarkan Kegelapan menjalankan takdirnya. Mengubah kutukan menjadi kenyataan.

Tetapi samar-samar terdengar suara lain dari dasar hatinya. Sebagian kecil yang belum sepenuhnya menyerah. Masih ingin hidup. Belum ingin mati.

Apakah yang sesungguhnya aku inginkan?

Sesungguhnya dia ingin melawan, kalau saja dia bisa... Kalau saja dia sendiri sudah cukup.

Atau mungkin itulah yang dimaksudkan oleh Ardiel? Bahwa usahanya sejauh ini bukanlah karena dia ingin menemukan penyelamatnya, melainkan bahwa dia ingin selamat? Sang Putri teringat penolakan dari salah satu dari orang yang menawarkan diri untuk bertukar Jantung Hati dengannya. Yang menghambatnya selama ini bukanlah fakta bahwa tak ada yang ingin mempercayakan Jantung Hati kepadanya, melainkan bahwa dia sudah ‘ditandai’ oleh Kegelapan. Itulah masalahnya.

Merasakan ketiadaan perlawanan, Kegelapan menjulurkan tangannya yang kurus, buruk, dan berkeropeng. Perlahan tapi pasti, beranjak untuk mengambil apa yang diinginkannya selama ini. Jantung Hati milik sang Putri.

Persis pada saat itu juga, keping-keping pemahaman menjadi satu, merupa kemarahan yang kemudian menggelegak menguasai sang empunya Jantung Hati.

Sang Putri membenci Kegelapan. Dia membenci fakta bahwa Kegelapan telah membuat hidupnya selama ini dipenuhi dengan Ketakutan. Dia membenci kenyataan bahwa selama ini dia tidak berdaya. Dan tidak akan pernah dia sudi menyerahkan Jantung Hatinya secara sukarela kepada Kegelapan. Dengan atau tanpa pasangan Jantung Hatinya.

“Tidak... Tidak!” Sang Putri menggenggam permata Jantung Hatinya kuat-kuat, menolak menyerahkannya kepada musuhnya. “Tidak akan!”

 Yang dia inginkan adalah supaya dia menjadi lebih kuat. Lebih tegar. Lebih berani. Supaya dia bisa menghadapi Kegelapan ini.

***

Di balik sepasang mata sang Putri yang terpejam rapat, hitam pekat terburai oleh datangnya cahaya putih menyilaukan. Terselip di antara jemarinya yang tidak bisa dia lihat, sang Putri bisa merasakan betapa Jantung Hatinya bergetar dengan cara yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya.

Seseorang bicara kepadanya. Jauh, tetapi dekat. Dengan suara yang tak pernah didengarnya sebelum ini, tetapi dikenalnya dengan sangat baik.

Aku mendengarmu memanggilku.
Aku ingin berjumpa denganmu.
Tidak apa-apa. Kita pasti bisa bertemu secepatnya.

...Jadilah berani.

Dalam suara-suara itu, terdapat kehangatan yang memenuhi rongga dada sang Putri dengan kekuatan yang tak pernah dia miliki sebelum ini. Maka jadilah dia berani, sesuai dengan apa yang dikatakannya. Untuk membuka matanya, dan menghadapi Kegelapan. Untuk menang atasnya.

Dan yang terpenting, untuk hidup.

Ledakan cahaya yang menyilaukan mata menghancurkan tembok-tembok yang membangun labirin di sekeliling mereka. Kekuatan misterius itu menyapu Kegelapan, yang mengeluarkan lolongan tajam sebelum sinar putih menghanguskannya menjadi abu, kemudian terbawa angin menuju ketiadaan. Sang Putri sendiri terhempas, limbung, dan jatuh bersama hujan debu serta puing-puing. Kesadarannya perlahan menghilang.

Tunggulah aku.

***

Beberapa tahun kemudian, tempat itu sudah bukan lagi seperti apa yang Sang Putri kenal. Tidak ada lagi jalanan setapak yang gersang. Tidak ada lagi tembok-tembok yang membentengi seluruh hidupnya. Angkasa terbentang lebih luas daripada jangkauan pandangnya, dan begitu juga permukaan danau, dan padang rumput berselimut bunga. Matahari bersinar terang, dan Kegelapan sudah musnah untuk selama-lamanya.

Dia akan hidup. Jantung Hatinya baik-baik saja, bergetar, dan memenuhi perasaannya dengan kehangatan. Seolah menandakan kehadiran yang semakin lama semakin dekat. Kehadiran yang sudah sejak lama dia nantikan.

Sang Putri mendongak, dan menemukan orang yang selama ini dinantikannya tak jauh di sana. Tersenyum lebar, sebab sesungguhnya mereka sudah lama saling mengenal, meskipun ini adalah kali pertama mereka berjumpa.

Sang Putri balas menyunggingkan senyum. Sebuah senyuman untuk mengakhiri masa-masa kelam dan sepi di belakang sana. Yang lebih penting adalah masa kini, ketika mereka sudah sama-sama tahu bahwa masing-masing akhirnya sempurna bagi yang lain.

Dan juga bahwa betapa akhirnya Resonansi telah mempertemukan mereka.

***Tamat***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar