Minggu, 21 Mei 2017

THE KING'S SORCERESS - PROLOG

THE KING’S SORCERESS

/Prolog/

“Odessa.”
Saat itu, meski kepalaku tertunduk, aku tahu mata semua orang tertuju kepadaku. Aku membayangkan ekspresi tercengang mereka tanpa harus mengedarkan pandang.
Dan aku tak bisa tersinggung, karena saat itu jantungku mungkin sudah tenggelam ke dasar perutku, yang bergejolak lalu berusaha memuntahkannya keluar. Bersama sejuta pemahaman yang gagal untuk dicerna.
Bagaimana bisa?
Tidak mungkin aku.
Aku mendongak, mencari wajah ayahku. Dari sisi ruangan tempatnya berdiri, ayah memandangku sendu. Namun aku tak bisa membaca petunjuk apapun dari ekspresinya.
Apakah dia sudah tahu?
Tapi... kenapa?
Ini pasti sebuah kesalahan.
Begitulah yang kuyakini sampai perlahan-lahan aku memberanikan diri mengangkat pandang, menghadapi orang yang menjatuhkan pilihannya. Sepasang matanya dingin. Biru. Tegas. Aku bahkan tak melihatnya berkedip.
Dan aku pun tahu bahwa sang Pangeran tidak sedang membuat kesalahan.
“Aku memilih Odessa Swerving sebagai tunanganku,” katanya sekali lagi, mematikan segala sisa-sisa peluang untuk meragukannya. “Kuharap kau tidak berkeberatan aku memilih putri kesayanganmu,” tambahnya dengan satu sentakan dagu yang luwes, melemparkan pusat perhatian kepada ayah.
Ayah menggeleng, mengabaikan tanda-tanda kepanikan yang kuisyaratkan padanya, serta kebingungan semua orang dari segala penjuru ruangan. Dia tersenyum samar. “Aku menyayangi ketiga putriku sama rata, Yang Mulia,” jawabnya tenang. “Tapi aku yakin Odessa tidak akan mengecewakan Anda.”
Aku tak seyakin itu. Aku tak yakin akan apapun. Ruangan serasa berpusing dengan cepat, dan aku cemas aku akan pingsan. Tapi kalau ada satu hal yang saja bisa kuyakini, itu adalah betapa semua orang akan semakin membenciku apabila aku tidak berpura-pura bahwa aku baru saja menerima kehormatan besar.
Sebab aku tahu itulah yang diimani oleh kedua kakakku sejak segala kericuhan masalah pertunangan ini dimulai sebulan yang lalu—yang sekarang keduanya tak berani kupandang. Yang keduanya tengah berdiri di sisi kiri dan kananku, tenang, menunggu... barangkali sambil terbakar api kecemburuan dari dalam.
Kenapa aku?
Hanya ada satu jawaban yang terpikir.
Aku berusaha meluruskan kerutan di dahiku, mengatur ulang napasku yang memburu dan mengabaikan desis bisik-bisik yang memenuhi ruangan. Semua harus kulakukan di bawah tatapan sang Putra Mahkota yang lurus menghujam, menilai.
“A-aku...”
Aku mengutuk diri sendiri dalam hati, berusaha mengumpulkan keberanian.
“Terima kasih sudah memilihku, Yang Mulia,” ujarku dengan susah payah, dan setidaknya aku masih ingat untuk membungkuk dalam-dalam, seperti yang diajarkan oleh ibu. “Aku... tidak akan mengecewakanmu.”
###

Belum genap tiga puluh hari yang lalu, manor kecil keluarga kami dikejutkan dengan datangnya surat kecil dari Kerajaan, yang isinya adalah rencana kunjungan sang pewaris takhta Escoblanc, Pangeran Emdel, untuk menemui ayah, sang kepala keluarga Swerving.
Keluarga kami, yang kendatipun adalah keluarga yang sudah melayani Kerajaan selama berabad-abad lamanya, bukanlah keluarga bangsawan besar terpandang dengan jumlah pengikut ribuan orang banyaknya. Keluarga Swerving hanya memiliki sebidang tanah kecil di penghujung kepulauan barat daya yang hijau di sepanjang tahunnya, dan pengikut kami hanyalah para petani sederhana yang jumlahnya hanya seratus orang.
Seumur hidupku, utusan kerajaan datang paling banyak lima kali setahun. Dua kali untuk kepentingan pajak, dan sisanya untuk menyampaikan undangan pesta kebesaran untuk ayah dan ibu.
Ibu bilang, dia bahkan tak berani bermimpi untuk menunangkan salah satu anak perempuannya dengan klan Amberwulfet—apalagi dengan sang Putra Mahkota sendiri.
Walau tentu saja, keluarga kami memiliki reputasi tersendiri. Kebanyakan tidak ada hubungannya denganku.
Ayahku, yang dipanggil Tuan Besar, konon adalah keturunan murni terakhir bangsa Ivolis—penduduk Bumi Elas pertama, walau dirinya selalu berkelakar hal tersebut tidak membuatnya berbeda dengan manusia biasa—yang sama sekali tidaklah salah. Kulit ayah hanya lebih kehijauan saja, kadang-kadang kalau ditimpa cahaya matahari.
Ibuku, yang dipanggil Nyonya, menyandang nama keluarga Mavelyr—salah satu keluarga bangsawan yang terdekat dengan Raja, sewaktu masih muda. Dia menikah dengan ayah pada saat usianya delapan belas tahun, lalu mewariskan warna kulit pucat dan bibir sewarna apel-yang-baru-saja-matang pada ketiga orang puterinya, namun mewariskan rambutnya yang keperakan, tebal, dan halus pada dua dari ketiganya saja.
Kakak pertamaku, Oletta, dibanggakan oleh ibu karena terlahir lebih cantik darinya. Oletta tidaklah terlalu tinggi, tapi tubuhnya ramping, dan berlakuk di tempat-tempat yang pas. Saat sesuatu membuatnya tertawa, dia menunduk, kemudian mendongak, baru perlahan-lahan melebarkan senyumannya. Gestur ini membuat banyak pemuda tergila-gila. Setiap hari Oletta menerima lebih banyak surat daripada ayah, dan sejauh ini sudah menolak halus pendekatan enam ahli waris bangsawan tetangga... sejauh yang kuingat.
Olevia, kakakku yang lebih muda, adalah kebalikan dari Oletta. Olevia sangat-sangat kuat semenjak dirinya masih berumur delapan tahun, tanpa berkeringat merobohkan tiga anak laki-laki yang memaksaku memegang kadal pada saat pesta kebun. Ayah memanggil seorang ahli seni pedang untuk mengajarinya tiga minggu sekali. Walau hampir setara cantiknya dengan Oletta, dan bisa bersikap sama anggunnya kalau dia mau, Olevia memotong rambutnya hingga pendek seperti laki-laki dan membuat ibu sakit kepala.
Aku memandang pantulanku di cermin, menggelengkan kepala.
Tak ada penjelasan wajar atas Pangeran Emdel yang memilihku dibandingkan mereka berdua. Sejak awal, semua bertaruh lima puluh keping emas—sang Pangeran akan bertunangan dengan Oletta yang cantik dan beberapa tahun mendatang akan bertumbuh menjadi wanita yang cocok memakai atribut seorang Ratu, atau lima puluh keping emas—sang Pangeran pasti lebih menyukai Olevia yang tangguh dan mampu maju ke medan perang untuk bertempur di sisinya.
Tidak ada yang bertaruh sekepingpun untuk Odessa, si puteri ketiga yang tidak cantik, kecil, kurus, pemalu dan ceroboh, serta gemar mengurung diri di perpustakaan manor. Sangat membosankan. Sangat tidak terlihat. Dan sangat mustahil untuk ditunangkan dengan seorang pewaris takhta.
Kecuali...
Pangeran Emdel mengetahui sebuah rahasia yang seharusnya tak diketahui olehnya.
Tanganku terjulur, meraba permukaan kaca yang dingin, membayangkannya sebagai permukaan air yang jernih. Dingin, seperti Pangeran Emdel. Caranya menatapku. Dan suaranya. Dingin, seperti rasa takut.
Kuharap malam ini hujan, doaku. Hari ini dan besok. Atau lusa. Apabila terjadi badai, mungkin aku tak harus cepat-cepat pergi ke ibukota. Dan sang Pangeran akan tinggal lebih lama, kemudian menyadari bahwa dia jatuh cinta pada Oletta atau semacam itu.
Rintik-rintik hujan terdengar menjatuhi bingkai jendela, satu demi satu, berlomba dengan jalannya jarum detik. Semakin lama semakin jelas. Hujan semakin deras.
Ayah mungkin akan marah kalau dia tahu apa yang kuperbuat.
Tapi dia juga tak memberitahuku apa-apa—yang tidaklah adil.
Pertunangan ini tak wajar sejak awalnya. Apalah artinya keluarga Swerving dibandingkan keluarga bangsawan lain yang lebih kaya dan berpengaruh? Dan seolah itu masih lazim, Pangeran Emdel juga memilih puteri yang paling tidak masuk akal di mata umum.
Karena dia tahu.
Aku beranjak memandang keluar jendela, mengingat-ingat hari itu. Dimana untuk pertama kalinya aku berhadapan langsung dengan Putera Mahkota Kerajaan Escoblanc. Saat aku melakukan kesalahan yang teramat fatal.
Dia tahu karena itu.
Sang Pangeran tahu bahwa aku adalah satu-satunya puteri Abraham Swerving yang bisa mengendalikan Elasar, dan mungkin satu-satunya keturunan yang memiliki kemampuan tersebut dalam dua abad terakhir.

###

Tidak ada komentar:

Posting Komentar