Sabtu, 24 Mei 2014

Kerajaan Hati: Tentang Apel Yang Dilarang


(Cerita ini ditulis dalam rangka kegiatan #ApplesWeekly pertama dengan tema: "makan apel". Dipersembahkan dengan sepenuh cinta untuk para Apples LCDP~ <3 )


***



Apel adalah buah yang paling jahat.



Begitulah alasan yang dikemukakan semua orang setiap kali Pangeran menanyakan sebab mengapa Raja melarang adanya Apel di kerajaan ini. Biasanya, kemudian dia akan bertanya lagi, “Kenapa disebut jahat?”



“Karena dia adalah buah yang selalu meminta, Pangeran,” jawab Pengawalnya pada suatu hari. “Apel hanya memberi dagingnya supaya dia bisa datang meminta lagi, dan lagi.”



“Aku tidak mengerti.”



“Tentu saja, Pangeran kan belum dewasa.” Pengawal menertawainya.



Pangeran tidak sabar ingin segera beranjak dewasa. Buatnya, menjadi dewasa kedengaran seperti akan membantunya memahami banyak hal yang sekarang tidak dia pahami. Bukan hanya tentang Apel—meskipun Pengawal bilang mungkin akan lebih baik jika dia tidak memikirkannya lagi, tetapi juga tentang Upacara Pertukaran, misalnya.



“Kata Ayah, aku akan jadi Raja setelah melakukan Pertukaran,” ceritanya. “Seperti apa sih Pertukaran itu?”



“Pertukaran artinya menukarkan Jantung Hati-mu dengan Jantung Hati orang lain...”



“Bukankah itu artinya aku akan terpisah dengan Hati-ku?” Pangeran bertanya keheranan. “Sepertinya menyakitkan. Lagipula, aku tidak yakin aku mau mempercayakan Jantung Hati-ku kepada orang lain...”



“Oh Pangeran, kau tidak tahu. Pertukaran adalah hal paling indah yang bisa dialami seseorang dalam hidupnya,” Pengawal menjawab sabar.



“Begitukah?”



Sekarang, keraguan Pangeran terdengar bercampur dengan perasaan antusias.



“Kuharap bisa secepatnya, kalau begitu. Aku sungguh ingin tahu...”



Mendengar ini, Pengawal hanya tersenyum.



***



Bertahun-tahun kemudian, ketika musim panas membawa Pangeran remaja berjalan-jalan keluar istana, tanpa sengaja pandangannya bertemu dengan seorang gadis penjaja yang tengah berdiri di tepi jalan sambil menggendong sebuah keranjang. Menyadari tatapan Pangeran yang tidak langsung berpindah, gadis itu mengulas senyum padanya.



“Selamat siang, Yang Mulia.” Dia membungkuk. “Mau melihat-lihat?”



Pangeran diam saja di tempatnya berdiri. Gadis penjaja itu sungguh elok rupanya. Senyum yang ditawarkannya manis dan hangat. Rambutnya panjang tergerai, hampir sewarna dengan matahari. Dia memiliki sepasang mata yang bening kebiruan. Titik-titik bayangan pada iris matanya membuat memandangnya terasa seperti memandang pada kedalaman air danau yang jernih.



Begitu Pangeran memikirkan semua ini, di dalam dadanya, Jantung Hati-nya bergerak begitu tiba-tiba hingga dia sontak menggeleng.



“Tidak,” jawabnya, berjalan menjauh. “Terima kasih, tetapi aku tidak butuh apa-apa.”



***



Beberapa hari telah berlalu sejak pertama kalinya Pangeran bertemu dengan sang Penjual. Beberapa hari itu juga dilewatkannya dengan melalui jalanan yang sama, hanya supaya dia bisa mencuri pandang terhadap gadis itu sembari melangkah pulang.



Dalam keremangan malam, Pangeran meletakkan tangannya di depan dada, dan menarik keluar sebentuk permata merah yang berpendar samar-samar, berputar memantulkan sinar bulan di balik kaca jendela.



“Rasanya berbeda,” gumamnya pelan.



“Kalau begitu mungkin sudah tiba saatnya.”



Pangeran menoleh ke belakang, bersitatap dengan Pengawalnya.



“Kalau kau sudah menemukan orang yang hendak kau ajak bertukar, Pangeran,” katanya lembut, “pergilah dan tanyakan padanya.”



Tangan Pangeran menggenggam Jantung Hatinya, merasa ragu dan takut. Di bawah penerangan rembulan yang temaram, wajah Pengawalnya nampak buram. Seolah tak menentu.



“Katamu, ini tidak akan menyakitkan. Tetapi saat ini rasanya...”



“Aku tidak pernah berkata demikian, Pangeranku,” ujarnya. “Tetapi indah, bukankah begitu?”



Pangeran tidak menjawabnya. Tangannya masih memegangi permata merah itu kuat-kuat.



“Sudah waktunya bagimu untuk menyambut kedewasaanmu,” kata Pengawalnya seraya meminta diri, “pada akhirnya, kita semua akan begitu. Semoga beruntung, Yang Mulia.”



***



“Selamat siang, Yang Mulia.” Sang Penjual menyapa keesokan harinya. Di hadapan Pangeran saat ini terpampang senyuman yang sama seperti yang beberapa hari ini terus menghantui kepalanya. “Ada yang bisa kubantu?”



Karena Pangeran masih belum memutuskan bagaimana sebaiknya dia memulai, sang Penjual bercakap lagi, mengisi kekosongan.



“Yang Mulia berjalan melewati tempat ini setiap hari sambil memperhatikanku, pastinya ada sesuatu yang kaubutuhkan, namun tak sanggup kausampaikan?” Sang Penjual tertawa ramah. “Jangan khawatir, aku akan menunggu sampai kau bisa mengatakannya...”



“Yang kubutuhkan,” Pangeran memulai dalam satu tarikan napas, “bukanlah salah satu dari barang yang kaujajakan, Nona. Aku ingin Jantung Hatimu.”



Si gadis Penjual menatapnya terkejut. Sejenak tawa kecilnya hilang digantikan keheningan, tapi lalu kemudian terdengar lagi—agak malu-malu.



“Alangkah manisnya, tetapi sayang sekali, Yang Mulia. Aku tidak punya Jantung Hati.”



“Kau tidak punya...?”



“Aku tidak punya,” ulangnya menegaskan. “Aku hanya punya ini.”



Dengan sebelah tangannya, gadis itu menyingkapkan sehelai kain yang menutupi isi keranjang. Dan itu adalah kali pertama Pangeran melihatnya dalam hidup.



Apel.



Buah itu nyaris bundar, tapi lebih seperti hati. Warnanya merah gelap, teksturnya mulus berkilau. Semuanya nampak besar dan ranum, berbaris rapi dan cantik di dalam keranjang.



“Buah yang paling jahat.” Tanpa sadar, Pangeran menyuarakan sederet deskripsi yang diutarakan orang-orang di sekitarnya berulang kali.



Mendengarnya, si Penjual malah tertawa seakan-akan itu lucu buatnya. “Tapi itu tidak benar,” sanggahnya kemudian. “Apel tidaklah jahat seperti yang dikatakan orang-orang. Lihatlah mereka, bagaimana sesuatu yang jahat bisa terlihat begitu...”



“...cantik,” Pangeran menyambungnya, pandangannya berpindah dari barisan buah yang menggiurkan tersebut kepada sepasang mata si gadis Penjual yang berbinar cerah, lalu pada bibirnya yang nyaris sewarna dengan kulit Apel. Semuanya terkesan begitu tak nyata—tapi dia tak bisa mengindar.



“Memang,” sahut si Penjual. “Coba beritahu aku,” katanya kemudian, bergerak mendekat, “apakah rasanya sakit di sini?”



Jemarinya menyentuh dada Pangeran, meninggalkan sensasi dingin dan ngilu seperti hujaman es di sana. Dia menghindar, tetapi si gadis bergeming. Pangeran hampir bisa mengenali bayangannya sendiri pada iris matanya yang jernih.



“Ya kan?” tanya si Penjual, tetapi jelas dia tidak benar-benar membutuhkan konfirmasi. “Jadi, Yang Mulia, aku menyesal sekali tidak bisa memberimu Jantung Hatiku. Tetapi sebagai gantinya, ambillah ini.”



Seperti tersihir, Pangeran mengambil sebutir Apel yang disodorkannya, memandanginya lekat-lekat.



“Sekali ini gratis. Apel itu akan mengurangi rasa sakitmu, jadi mungkin kau akan memerlukannya lagi. Kapanpun kau ingin membelinya, aku akan selalu di sini,” ujarnya ceria. “Hanya saja—ingatlah, jangan ceritakan ini pada siapapun, mengerti? Aku tidak ingin Ayahmu menangkapku.”



***



Aneh. Kenapa Raja dan Ratu bersikeras melarang adanya Apel di kerajaan ini? Hukumnya serius sekali. Siapapun yang menjualnya atau membagi-bagikannya dipastikan akan mendapat hukuman mati.



Tetapi Pangeran tidak mengerti. Apel rasanya manis. Ada sedikit masam, tetapi kebanyakan manis. Dan gurih. Dan berair. Setiap gigitannya seperti melonggarkan ikatan yang menyesak dadanya sedikit demi sedikit.



Dia tidak mengerti mengapa sesuatu yang seenak ini dilarang keberadaannya oleh kerajaan. Apel sama sekali tidak jahat. Karena buah inilah, perasaannya menjadi sangat ringan dibandingkan kapanpun beberapa hari belakangan ini.



Malam itu, Pangeran bermimpi indah.



***



Apa yang pada awalnya merupakan kesan yang berubah baik, lama kelamaan menjadi candu. Sejak hari itu, Pangeran selalu kembali kepada si Penjual untuk membeli Apel. Sebagian karena kerinduannya untuk menemui si gadis, sebagian lagi karena kegemarannya akan buah tersebut. Pangeran tahu bahwa di hari dia berhenti memakan Apelnya, dia akan kembali merasa sesak atau bahkan semakin merana.



Namun apa yang tidak diperhatikan Pangeran rupanya tidak luput dari perhatian Pengawalnya, yang pada suatu hari menemukan tuannya telah sedemikian sakit, hingga dilarangnya Pangeran untuk keluar dari kamar.



“Akan kupanggilkan Ayah dan Ibumu. Bertahanlah,” pintanya seraya bergegas memanggil Raja dan Ratu.



Pangeran menggumamkan sesuatu tentang tidak ingin tinggal, tetapi luput dari pendengaran si Pengawal yang telah berlari meninggalkan ruangan. Adapun Raja dan Ratu akhirnya memanggil Natael, sang Pelindung Kerajaan, untuk mencari tahu apa gerangan yang membuat anaknya menderita sakit.



“Jelas sekali buat saya bahwa Pangeran telah memakan buah yang terlarang,” katanya memberitahu.



Raja terkesiap, wajahnya memucat.



“Sudah separah apa dia?” tanya Ratu sedih.



Natael melebarkan kedua tangan mungilnya di atas pembaringan sang Pangeran. Jantung Hatinya muncul, berputar-putar lemah di atas tubuhnya. Permata merah itu kini berpendar kusam, permukaannya nampak rapuh dan retak di berbagai sisi.



“Buah itu telah meminta cukup banyak darinya,” katanya muram. “Sepertinya akan memakan waktu sangat lama agar Pangeran bisa pulih. Itupun tidak menjamin takkan ada kerusakan yang permanen.”



Ratu menjadi terisak-isak begitu mendengar ini.



“Tapi bagaimana...?” Raja nampak berang. “Siapa yang memberikannya?!”



***



Pencarian diadakan di seantero pelosok negeri. Berita mengenai tertangkapnya beberapa penjual Apel berhembus, namun tiada yang tahu pasti siapa orangnya yang memberikan Apel kepada Pangeran. Hari demi hari berlalu, sedangkan Pangeran sendiri tidak kunjung menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Namun pada suatu titik, dia membuka matanya.



Meski tubuhnya sangat lemah, Pangeran bisa memaksa dirinya untuk kembali ke jalan yang sama. Jalanan itu kini sepi dan kosong, selaras dengan pemandangan langit yang muram dan gelap—meskipun siang seharusnya masih ada di atas sana. Tetapi si Penjual masih ada. Begitu melihatnya mendatangi dari ujung jalan, gadis itu tersenyum.



“Selamat siang, Yang Mulia,” sapanya ramah. “Mau melihat-lihat?”



“Apel yang kauberikan sungguh jahat, Nona,” kata Pangeran mengabaikan pertanyaannya. “Andai aku tahu ia akan merusak Jantung Hatiku sebagai ganti meredam rasa sakitnya, aku tidak akan pernah memakannya.”



Si gadis Penjual menatapnya tanpa berkedip.



“Tetapi tahukah kau bahwa sumber rasa sakit yang sejati adalah Jantung Hati itu sendiri, Yang Mulia?” bantahnya tenang. “Yang harus kaulakukan hanyalah terus memakannya. Sampai pada akhirnya Jantung Hati itu tidak akan pernah menyakitimu lagi. Kau akan jadi seperti aku.”



“Yang kuminta darimu adalah Jantung Hatimu, supaya bisa kutukarkan dengan milikku!”



“...yang sayangnya, tidak kumiliki. Punyaku sudah hancur bertahun-tahun yang lalu. Tetapi itu bagus... Tanpa Jantung Hati, aku tidak perlu merasa kesakitan. Dan tidak perlu ada Jantung Hati untuk ditukarkan. Jika Yang Mulia menginginkanku, kau hanya perlu memakan Apel itu selamanya...”



Sampai sini, sudah tidak ada lagi si gadis Penjual yang manis dan jelita. Seolah selama ini tersembunyi dari pandangannya, saat ini yang dilihat Pangeran adalah sesosok gadis buruk rupa dengan ekspresi wajah yang keras, dan senyuman yang lebih menyerupai seringai. Tidak ada lagi binar di sepasang matanya—hanya putih dan kosong. Rambutnya kelabu, panjang, menjuntai mengelilingi wajahnya yang sepucat tembok.



Merasa ngeri, Pangeran mundur menjauh, tersandung, lalu beringsut.



“Tidak... jangan mendekat...!”



“Kenapa...? Bukankah Yang Mulia menginginkan Jantung Hatiku? Apel itu adalah Jantung Hati yang bisa kuberikan kepadamu!” Si Penjual tertawa berderai. Tawanya melengking di telinga Pangeran, sekaligus terasa mengiris dadanya.



“Tapi Jantung Hatimu, Pangeran... Sejauh mana yang sudah kuminta itu akan membantu menghidupkanku. H-hanya tinggal sedikit lagi...”



Penjual menarik keluar sebutir Apel dari dalam keranjangnya.



“...mau Apel?” Dia bertanya parau. Wajahnya lapar.



Tepat pada saat itu, Pengawal muncul dari tempat persembunyiannya. Dia melompat, menerjang si Penjual Apel. Mata pedangnya menembus jantung gadis itu, dan dengan jeritan panjang yang membelah kesunyian, sosoknya buyar menjadi asap hitam kemerahan... kemudian lenyap dibawa deru angin seolah tak pernah ada.



***



“Hanya ada sedikit sekali orang yang mau menukarkan Jantung Hatinya dengan Jantung Hati yang sudah rusak. Karena akan jauh lebih menyakitkan bagi kedua belah pihak.”



Raja dan Ratu berdiri berangkulan di tepi pembaringan anaknya, mengawasi Natael memeriksa Jantung Hati Pangeran hingga selesai.



“Kami tahu,” sahut Raja dengan suara pelan. “Yang kami harapkan hanyalah agar dia bisa pulih secepatnya.”



“Kalau begitu, berikan dia waktu,” kata Natael lagi. “Banyak waktu. Hanya itu satu-satunya cara agar dia bisa disembuhkan.”



Lama kemudian, begitu baik Natael maupun kedua orangtuanya sudah pergi, Pangeran terbangun. Kaca menggenang di pelupuk matanya sementara pandangannya kosong menembus langit-langit ruangan.



“Apakah masih begitu sakit?”



Terdengar suara yang sangat dikenalnya. Suara Pengawal.



“Ya.” Pangeran menutupi matanya dengan kedua lengan. “Sakit sekali.”



“Tidak ada cara untuk menyelamatkannya, Yang Mulia,” ujar Pengawal, suaranya lembut seperti asalnya dari jauh sekali. “Dalam keadaan seperti itu, dia hanya mampu melukai orang lain... dan dirinya sendiri. Yang terbaik yang dapat kita lakukan untuknya hanyalah membantu mengakhirinya.”



Tak ada isakan. Tak ada suara. Pangeran hanya mendengarkannya dalam diam.



“...tapi kurasa, kenyataan itulah yang paling melukaimu?”



Kemudian Pangeran berkata, “Jika aku terus memakannya, aku akan berakhir seperti itu.”



“Jangan pernah menyalahkan Jantung Hatimu, Pangeran,” kata Pengawal lagi. “Meskipun sesekali berdenyut sakit, dan meskipun saat ini rusak, Hati itu adalah tanda bahwa kau hidup. Dan aku yakin, cepat atau lambat, suatu saat pasti ia akan kembali seperti sedia kala. Bahkan mungkin jauh lebih indah.”



“Apakah kau bersedia menemaniku sampai saat itu tiba?”



“Tentu saja.”



Dan digenggamnya sebelah tangan Pangeran yang terjulur erat-erat.



 

***

--TAMAT--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar