(Cerita ini ditulis dalam rangka kegiatan #ApplesWeekly pertama dengan tema: "makan apel". Dipersembahkan dengan sepenuh cinta untuk para Apples LCDP~ <3 )
***
Apel adalah buah
yang paling jahat.
Begitulah
alasan yang dikemukakan semua orang setiap kali Pangeran menanyakan sebab
mengapa Raja melarang adanya Apel di kerajaan ini. Biasanya, kemudian dia akan
bertanya lagi, “Kenapa disebut jahat?”
“Karena
dia adalah buah yang selalu meminta, Pangeran,” jawab Pengawalnya pada suatu
hari. “Apel hanya memberi dagingnya supaya dia bisa datang meminta lagi, dan
lagi.”
“Aku
tidak mengerti.”
“Tentu
saja, Pangeran kan belum dewasa.” Pengawal menertawainya.
Pangeran
tidak sabar ingin segera beranjak dewasa. Buatnya, menjadi dewasa kedengaran
seperti akan membantunya memahami banyak hal yang sekarang tidak dia pahami.
Bukan hanya tentang Apel—meskipun Pengawal bilang mungkin akan lebih baik jika dia
tidak memikirkannya lagi, tetapi juga tentang Upacara Pertukaran, misalnya.
“Kata
Ayah, aku akan jadi Raja setelah melakukan Pertukaran,” ceritanya. “Seperti apa
sih Pertukaran itu?”
“Pertukaran
artinya menukarkan Jantung Hati-mu dengan Jantung Hati orang lain...”
“Bukankah
itu artinya aku akan terpisah dengan Hati-ku?” Pangeran bertanya keheranan.
“Sepertinya menyakitkan. Lagipula, aku tidak yakin aku mau mempercayakan Jantung
Hati-ku kepada orang lain...”
“Oh
Pangeran, kau tidak tahu. Pertukaran adalah hal paling indah yang bisa dialami
seseorang dalam hidupnya,” Pengawal menjawab sabar.
“Begitukah?”
Sekarang,
keraguan Pangeran terdengar bercampur dengan perasaan antusias.
“Kuharap
bisa secepatnya, kalau begitu. Aku sungguh ingin tahu...”
Mendengar
ini, Pengawal hanya tersenyum.
***
Bertahun-tahun
kemudian, ketika musim panas membawa Pangeran remaja berjalan-jalan keluar
istana, tanpa sengaja pandangannya bertemu dengan seorang gadis penjaja yang
tengah berdiri di tepi jalan sambil menggendong sebuah keranjang. Menyadari
tatapan Pangeran yang tidak langsung berpindah, gadis itu mengulas senyum
padanya.
“Selamat
siang, Yang Mulia.” Dia membungkuk. “Mau melihat-lihat?”
Pangeran
diam saja di tempatnya berdiri. Gadis penjaja itu sungguh elok rupanya. Senyum
yang ditawarkannya manis dan hangat. Rambutnya panjang tergerai, hampir sewarna
dengan matahari. Dia memiliki sepasang mata yang bening kebiruan. Titik-titik
bayangan pada iris matanya membuat memandangnya terasa seperti memandang pada
kedalaman air danau yang jernih.
Begitu
Pangeran memikirkan semua ini, di dalam dadanya, Jantung Hati-nya bergerak
begitu tiba-tiba hingga dia sontak menggeleng.
“Tidak,”
jawabnya, berjalan menjauh. “Terima kasih, tetapi aku tidak butuh apa-apa.”
***
Beberapa
hari telah berlalu sejak pertama kalinya Pangeran bertemu dengan sang Penjual.
Beberapa hari itu juga dilewatkannya dengan melalui jalanan yang sama, hanya
supaya dia bisa mencuri pandang terhadap gadis itu sembari melangkah pulang.
Dalam
keremangan malam, Pangeran meletakkan tangannya di depan dada, dan menarik
keluar sebentuk permata merah yang berpendar samar-samar, berputar memantulkan
sinar bulan di balik kaca jendela.
“Rasanya
berbeda,” gumamnya pelan.
“Kalau
begitu mungkin sudah tiba saatnya.”
Pangeran
menoleh ke belakang, bersitatap dengan Pengawalnya.
“Kalau
kau sudah menemukan orang yang hendak kau ajak bertukar, Pangeran,” katanya
lembut, “pergilah dan tanyakan padanya.”
Tangan
Pangeran menggenggam Jantung Hatinya, merasa ragu dan takut. Di bawah
penerangan rembulan yang temaram, wajah Pengawalnya nampak buram. Seolah tak
menentu.
“Katamu,
ini tidak akan menyakitkan. Tetapi saat ini rasanya...”
“Aku
tidak pernah berkata demikian, Pangeranku,” ujarnya. “Tetapi indah, bukankah
begitu?”
Pangeran
tidak menjawabnya. Tangannya masih memegangi permata merah itu kuat-kuat.
“Sudah
waktunya bagimu untuk menyambut kedewasaanmu,” kata Pengawalnya seraya meminta
diri, “pada akhirnya, kita semua akan begitu. Semoga beruntung, Yang Mulia.”
***
“Selamat
siang, Yang Mulia.” Sang Penjual menyapa keesokan harinya. Di hadapan Pangeran
saat ini terpampang senyuman yang sama seperti yang beberapa hari ini terus
menghantui kepalanya. “Ada yang bisa kubantu?”
Karena
Pangeran masih belum memutuskan bagaimana sebaiknya dia memulai, sang Penjual
bercakap lagi, mengisi kekosongan.
“Yang
Mulia berjalan melewati tempat ini setiap hari sambil memperhatikanku, pastinya
ada sesuatu yang kaubutuhkan, namun tak sanggup kausampaikan?” Sang Penjual
tertawa ramah. “Jangan khawatir, aku akan menunggu sampai kau bisa
mengatakannya...”
“Yang
kubutuhkan,” Pangeran memulai dalam satu tarikan napas, “bukanlah salah satu
dari barang yang kaujajakan, Nona. Aku ingin Jantung Hatimu.”
Si
gadis Penjual menatapnya terkejut. Sejenak tawa kecilnya hilang digantikan
keheningan, tapi lalu kemudian terdengar lagi—agak malu-malu.
“Alangkah
manisnya, tetapi sayang sekali, Yang Mulia. Aku tidak punya Jantung Hati.”
“Kau
tidak punya...?”
“Aku
tidak punya,” ulangnya menegaskan. “Aku hanya punya ini.”
Dengan
sebelah tangannya, gadis itu menyingkapkan sehelai kain yang menutupi isi
keranjang. Dan itu adalah kali pertama Pangeran melihatnya dalam hidup.
Apel.
Buah
itu nyaris bundar, tapi lebih seperti hati. Warnanya merah gelap, teksturnya
mulus berkilau. Semuanya nampak besar dan ranum, berbaris rapi dan cantik di
dalam keranjang.
“Buah
yang paling jahat.” Tanpa sadar, Pangeran menyuarakan sederet deskripsi yang
diutarakan orang-orang di sekitarnya berulang kali.
Mendengarnya,
si Penjual malah tertawa seakan-akan itu lucu buatnya. “Tapi itu tidak benar,”
sanggahnya kemudian. “Apel tidaklah jahat seperti yang dikatakan orang-orang.
Lihatlah mereka, bagaimana sesuatu yang jahat bisa terlihat begitu...”
“...cantik,”
Pangeran menyambungnya, pandangannya berpindah dari barisan buah yang
menggiurkan tersebut kepada sepasang mata si gadis Penjual yang berbinar cerah,
lalu pada bibirnya yang nyaris sewarna dengan kulit Apel. Semuanya terkesan begitu
tak nyata—tapi dia tak bisa mengindar.
“Memang,”
sahut si Penjual. “Coba beritahu aku,” katanya kemudian, bergerak mendekat, “apakah
rasanya sakit di sini?”
Jemarinya
menyentuh dada Pangeran, meninggalkan sensasi dingin dan ngilu seperti hujaman
es di sana. Dia menghindar, tetapi si gadis bergeming. Pangeran hampir bisa
mengenali bayangannya sendiri pada iris matanya yang jernih.
“Ya
kan?” tanya si Penjual, tetapi jelas dia tidak benar-benar membutuhkan
konfirmasi. “Jadi, Yang Mulia, aku menyesal sekali tidak bisa memberimu Jantung
Hatiku. Tetapi sebagai gantinya, ambillah ini.”
Seperti
tersihir, Pangeran mengambil sebutir Apel yang disodorkannya, memandanginya
lekat-lekat.
“Sekali
ini gratis. Apel itu akan mengurangi rasa sakitmu, jadi mungkin kau akan
memerlukannya lagi. Kapanpun kau ingin membelinya, aku akan selalu di sini,”
ujarnya ceria. “Hanya saja—ingatlah, jangan ceritakan ini pada siapapun,
mengerti? Aku tidak ingin Ayahmu menangkapku.”
***
Aneh.
Kenapa Raja dan Ratu bersikeras melarang adanya Apel di kerajaan ini? Hukumnya
serius sekali. Siapapun yang menjualnya atau membagi-bagikannya dipastikan akan
mendapat hukuman mati.
Tetapi
Pangeran tidak mengerti. Apel rasanya manis. Ada sedikit masam, tetapi
kebanyakan manis. Dan gurih. Dan berair. Setiap gigitannya seperti melonggarkan
ikatan yang menyesak dadanya sedikit demi sedikit.
Dia
tidak mengerti mengapa sesuatu yang seenak ini dilarang keberadaannya oleh
kerajaan. Apel sama sekali tidak jahat. Karena buah inilah, perasaannya menjadi
sangat ringan dibandingkan kapanpun beberapa hari belakangan ini.
Malam
itu, Pangeran bermimpi indah.
***
Apa
yang pada awalnya merupakan kesan yang berubah baik, lama kelamaan menjadi
candu. Sejak hari itu, Pangeran selalu kembali kepada si Penjual untuk membeli
Apel. Sebagian karena kerinduannya untuk menemui si gadis, sebagian lagi karena
kegemarannya akan buah tersebut. Pangeran tahu bahwa di hari dia berhenti memakan
Apelnya, dia akan kembali merasa sesak atau bahkan semakin merana.
Namun
apa yang tidak diperhatikan Pangeran rupanya tidak luput dari perhatian
Pengawalnya, yang pada suatu hari menemukan tuannya telah sedemikian sakit,
hingga dilarangnya Pangeran untuk keluar dari kamar.
“Akan
kupanggilkan Ayah dan Ibumu. Bertahanlah,” pintanya seraya bergegas memanggil
Raja dan Ratu.
Pangeran
menggumamkan sesuatu tentang tidak ingin tinggal, tetapi luput dari pendengaran
si Pengawal yang telah berlari meninggalkan ruangan. Adapun Raja dan Ratu
akhirnya memanggil Natael, sang Pelindung Kerajaan, untuk mencari tahu apa
gerangan yang membuat anaknya menderita sakit.
“Jelas
sekali buat saya bahwa Pangeran telah memakan buah yang terlarang,” katanya
memberitahu.
Raja
terkesiap, wajahnya memucat.
“Sudah
separah apa dia?” tanya Ratu sedih.
Natael
melebarkan kedua tangan mungilnya di atas pembaringan sang Pangeran. Jantung
Hatinya muncul, berputar-putar lemah di atas tubuhnya. Permata merah itu kini
berpendar kusam, permukaannya nampak rapuh dan retak di berbagai sisi.
“Buah
itu telah meminta cukup banyak darinya,” katanya muram. “Sepertinya akan
memakan waktu sangat lama agar Pangeran bisa pulih. Itupun tidak menjamin
takkan ada kerusakan yang permanen.”
Ratu
menjadi terisak-isak begitu mendengar ini.
“Tapi
bagaimana...?” Raja nampak berang. “Siapa yang memberikannya?!”
***
Pencarian
diadakan di seantero pelosok negeri. Berita mengenai tertangkapnya beberapa
penjual Apel berhembus, namun tiada yang tahu pasti siapa orangnya yang
memberikan Apel kepada Pangeran. Hari demi hari berlalu, sedangkan Pangeran
sendiri tidak kunjung menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Namun pada suatu titik,
dia membuka matanya.
Meski
tubuhnya sangat lemah, Pangeran bisa memaksa dirinya untuk kembali ke jalan
yang sama. Jalanan itu kini sepi dan kosong, selaras dengan pemandangan langit
yang muram dan gelap—meskipun siang seharusnya masih ada di atas sana. Tetapi
si Penjual masih ada. Begitu melihatnya mendatangi dari ujung jalan, gadis itu
tersenyum.
“Selamat
siang, Yang Mulia,” sapanya ramah. “Mau melihat-lihat?”
“Apel
yang kauberikan sungguh jahat, Nona,” kata Pangeran mengabaikan pertanyaannya.
“Andai aku tahu ia akan merusak Jantung Hatiku sebagai ganti meredam rasa
sakitnya, aku tidak akan pernah memakannya.”
Si
gadis Penjual menatapnya tanpa berkedip.
“Tetapi
tahukah kau bahwa sumber rasa sakit yang sejati adalah Jantung Hati itu
sendiri, Yang Mulia?” bantahnya tenang. “Yang harus kaulakukan hanyalah terus
memakannya. Sampai pada akhirnya Jantung Hati itu tidak akan pernah menyakitimu
lagi. Kau akan jadi seperti aku.”
“Yang
kuminta darimu adalah Jantung Hatimu, supaya bisa kutukarkan dengan milikku!”
“...yang
sayangnya, tidak kumiliki. Punyaku sudah hancur bertahun-tahun yang lalu.
Tetapi itu bagus... Tanpa Jantung Hati, aku tidak perlu merasa kesakitan. Dan tidak
perlu ada Jantung Hati untuk ditukarkan. Jika Yang Mulia menginginkanku, kau
hanya perlu memakan Apel itu selamanya...”
Sampai
sini, sudah tidak ada lagi si gadis Penjual yang manis dan jelita. Seolah
selama ini tersembunyi dari pandangannya, saat ini yang dilihat Pangeran adalah
sesosok gadis buruk rupa dengan ekspresi wajah yang keras, dan senyuman yang
lebih menyerupai seringai. Tidak ada lagi binar di sepasang matanya—hanya putih
dan kosong. Rambutnya kelabu, panjang, menjuntai mengelilingi wajahnya yang
sepucat tembok.
Merasa
ngeri, Pangeran mundur menjauh, tersandung, lalu beringsut.
“Tidak...
jangan mendekat...!”
“Kenapa...?
Bukankah Yang Mulia menginginkan Jantung Hatiku? Apel itu adalah Jantung Hati
yang bisa kuberikan kepadamu!” Si Penjual tertawa berderai. Tawanya melengking
di telinga Pangeran, sekaligus terasa mengiris dadanya.
“Tapi
Jantung Hatimu, Pangeran... Sejauh mana yang sudah kuminta itu akan membantu menghidupkanku.
H-hanya tinggal sedikit lagi...”
Penjual
menarik keluar sebutir Apel dari dalam keranjangnya.
“...mau Apel?”
Dia bertanya parau. Wajahnya lapar.
Tepat
pada saat itu, Pengawal muncul dari tempat persembunyiannya. Dia melompat,
menerjang si Penjual Apel. Mata pedangnya menembus jantung gadis itu, dan
dengan jeritan panjang yang membelah kesunyian, sosoknya buyar menjadi asap
hitam kemerahan... kemudian lenyap dibawa deru angin seolah tak pernah ada.
***
“Hanya
ada sedikit sekali orang yang mau menukarkan Jantung Hatinya dengan Jantung
Hati yang sudah rusak. Karena akan jauh lebih menyakitkan bagi kedua belah
pihak.”
Raja
dan Ratu berdiri berangkulan di tepi pembaringan anaknya, mengawasi Natael
memeriksa Jantung Hati Pangeran hingga selesai.
“Kami
tahu,” sahut Raja dengan suara pelan. “Yang kami harapkan hanyalah agar dia
bisa pulih secepatnya.”
“Kalau
begitu, berikan dia waktu,” kata Natael lagi. “Banyak waktu. Hanya itu
satu-satunya cara agar dia bisa disembuhkan.”
Lama
kemudian, begitu baik Natael maupun kedua orangtuanya sudah pergi, Pangeran
terbangun. Kaca menggenang di pelupuk matanya sementara pandangannya kosong
menembus langit-langit ruangan.
“Apakah
masih begitu sakit?”
Terdengar
suara yang sangat dikenalnya. Suara Pengawal.
“Ya.”
Pangeran menutupi matanya dengan kedua lengan. “Sakit sekali.”
“Tidak
ada cara untuk menyelamatkannya, Yang Mulia,” ujar Pengawal, suaranya lembut
seperti asalnya dari jauh sekali. “Dalam keadaan seperti itu, dia hanya mampu
melukai orang lain... dan dirinya sendiri. Yang terbaik yang dapat kita lakukan
untuknya hanyalah membantu mengakhirinya.”
Tak
ada isakan. Tak ada suara. Pangeran hanya mendengarkannya dalam diam.
“...tapi
kurasa, kenyataan itulah yang paling melukaimu?”
Kemudian
Pangeran berkata, “Jika aku terus memakannya, aku akan berakhir seperti itu.”
“Jangan
pernah menyalahkan Jantung Hatimu, Pangeran,” kata Pengawal lagi. “Meskipun sesekali
berdenyut sakit, dan meskipun saat ini rusak, Hati itu adalah tanda bahwa kau
hidup. Dan aku yakin, cepat atau lambat, suatu saat pasti ia akan kembali
seperti sedia kala. Bahkan mungkin jauh lebih indah.”
“Apakah
kau bersedia menemaniku sampai saat itu tiba?”
“Tentu
saja.”
Dan
digenggamnya sebelah tangan Pangeran yang terjulur erat-erat.
***
--TAMAT--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar