Jumat, 31 Januari 2014

Mahalia [1]



GLG: Side Story
Mahalia

[1]

Kelopak-kelopak bunga Endelmtas yang berwarna biru dibawa terbang oleh tiupan angin ke berbagai penjuru. Salah satunya singgah di atas lembaran buku yang terbuka pada pangkuan seorang gadis. Salah dua hinggap pada sela-sela rambutnya yang panjang berantakan. Lebih banyak lagi berhembus melewatinya bersama angin, menggelitik indera penciuman dengan aroma yang tajam.

Mahalia bersin. Lalu ditepisnya kelopak-kelopak biru dari permukaan buku serta puncak rambutnya. Kakinya menjuntai, bergoyang-goyang lincah dari atas dahan pohon tempat dia sedang duduk menulis.

“Urgh, aku tidak suka bau bunga ini!” gerutunya.


Jemarinya kembali menelusuri garis-garis di atas buku, mencoba membaca kembali apa yang sudah tertulis sebelum memikirkan lanjutan yang mau ditulisnya. Sepasang alisnya yang hitam dan tebal membentuk lekukan kala kerutan muncul pada dahinya.

“Hmmm... semilir angin... membawakan... janji-janji...”

Sementara mulutnya menggumamkan kata-kata barusan, tangannya memegang pena, bersiap menggubahnya menjadi tulisan. Namun sebelum ia bisa melakukannya, pohon tempatnya duduk berguncang keras layaknya terkena gempa.

“Aaa!”

Sebelum dia sempat mencari tahu apa gerangan yang sedang terjadi, sebuah suara terdengar dari bawah.

“Keluar kau setan pohon!”

“Setan pohon..?!” Mahalia terperanjat. Dia menjulurkan lehernya untuk melihat sosok si pemilik suara, berniat meneriakkan sebuah protes sekaligus klarifikasi, tapi guncangan berikutnya keburu datang—jauh lebih keras dari yang sebelumnya, hingga buku milik si gadis meluncur jatuh dari pangkuannya.

“Ya ampun!” bisiknya.

Terdengar bunyi lembaran-lembaran kertas yang membuka dan mengatup di tengah udara, lalu bunyi gedebuk, dan yang terakhir, suara orang berkata “Aduh!”. Mahalia tidak yakin bagaimana persisnya, tapi bukunya pasti jatuh menimpa kepala orang yang tadi meneriakinya setan pohon. Sejenak, Mahalia terkikik pelan mensyukuri, tapi kemudian dia tersadar.

Buku sajak karangannya. Tidak untuk dibaca siapapun kecuali dirinya sendiri.

“Tidak, jangan dibaca!” serunya. Dalam keadaan panik, Mahalia malah terjun bebas dari atas pohon mengikuti jejak bukunya.

“Mencintaimu seperti sekuntum bunga Amargo di musim dingin,
yang tidak akan mekar.
Aku Amar, dan kau Indigo,
Aku dan apa yang kusimpan
untukmu, dan apa yang kausimpan,
untuk sang surya, Athala.
Menunggu musim semi yang akan datang
setelah akhir dari selamanya.”

Mahalia hanya bisa mengerang pasrah sambil mencium rumput mendengar sajaknya dibacakan. Badannya terasa sakit, terutama tangan kanan dan lutut yang sempat dia gunakan untuk menahan jatuh. Jadi kalaupun saat ini hatinya menjerit malu bercampur kesal, sepertinya dia tidak akan bisa bergerak tanpa bantuan.

“Aku tidak tahu setan pohon bisa menulis sajak.” Didengarnya suara itu berkomentar, dengan suara yang lebih tenang. Suara laki-laki yang dalam tetapi nyaring, mau tidak mau mengingatkan Mahalia akan bunyi aliran air sungai Viendras.

Mahalia ingin membentak mengancam pria sialan itu supaya dia jangan tertawa, tapi yang keluar dari mulutnya hanya suara gumaman tak jelas.

Ada suara langkah-langkah mendekat. Membungkuk. Lalu sepasang tangan menyangga lengannya yang terasa ngilu. Mahalia berbalik, sepasang matanya yang berair bertemu dengan sepasang mata sipit kebiruan milik penolongnya. Butuh waktu beberapa detik bagi penglihatannya supaya berhenti mengabur, dan ketika itu terjadi, Mahalia bisa melihat wajahnya dengan lebih jelas. Dan juga rambut perak keriting berantakan. Sepasang giwang berbatu ungu kecil di kedua telinga. Tato hijau gelap berbentuk melingkar di salah satu sisi leher. Pakaian berbahan linen, berwarna merah darah. Orang kerajaan.

“Dan aku juga baru tahu bahwa setan pohon ternyata... cantik.”

“Itu karena aku bukan setan pohon, idiot!” Mahalia menampik tangan pemuda itu menggunakan tangannya yang satu lagi. “Dan jangan berani-beraninya melemparkan gombalan menjijikkan padaku... kau...”

“Maafkan saya, Nona,” kata pemuda itu buru-buru, mendadak santun. “Kupikir pujian semacam itu akan membuat perasaan Anda lebih baik, karena kalau disimpulkan dari sajak buatan Anda...”

Apa?

Mahalia murka. “Kaubilang sajak buatanku menjijikkan?!”

“Sungguh tidak bermaksud begitu, Nona. Tapi ah, Anda yang mengatakannya sendiri.”

Ditatapnya pemuda itu sambil membelalak. Selain mengatainya setan pohon, pemuda ini telah menyebabkannya mendapat kecelakaan—dan masih juga mempermalukannya dengan membaca lalu mengejek sajak buatannya secara tidak langsung. Padahal beberapa menit yang lalu rasanya Mahalia masih duduk tenang di tempat kesukaannya. Padahal... coba ingatkan lagi, siapa sih dirinya ini.

“Saya benar-benar minta maaf,” kata pemuda itu mengulangi. Sepasang matanya yang sipit memandang penasaran pada Mahalia, meski kepalanya kini ditundukkan demi alasan kesopanan.

“Kau... tidak tahu siapa aku?”

Pemuda itu menggeleng.

“Yang jelas Anda bukan setan pohon.”

“Tentu saja bukan! Tidak ada yang namanya setan pohon di Waldheim!” geram Mahalia tak sabar. Orang ini benar-benar dungu ya? “Satu-satunya entitas spiritual yang ada di dunia ini hanyalah para Roh yang diutus demi kebaikan kita. Roh terang ataupun kegelapan, dua-duanya bertujuan baik untuk menuntun kita pada jalan yang benar—jadi tidak ada yang namanya setan apapun. Kau mengerti?”

“Ya, saya mengerti. ”

“Dan jangan pernah memperlakukan pohon dengan semena-mena, apalagi menendang mereka! Tumbuh-tumbuhan adalah makhluk berharga yang diciptakan, dikasihi, dan dipelihara oleh Tiga Roh Utama. Kau mengerti?”

“Ya, saya mengerti.”

“Satu lagi, kau tidak boleh mengintip isi buku seorang wanita meskipun buku itu jatuh di depan hidungmu sekalipun! Itu bukan tindakan seorang pria terhormat! Kau mengerti?”

“Ya, saya mengerti.”

“Kalaupun kau terlanjur membacanya—sengaja ataupun tidak sengaja, jangan pernah berkomentar soal itu! Mengerti?”

“Ya, saya mengerti.”

“Bagus!” pungkas Mahalia puas. Dalam pikirannya, dia meragukan apa benar pemuda ini orang kerajaan seperti bagaimana penampilannya berkata. Menurut Mahalia, tindak-tanduknya terkesan menyimpang dari karakteristik keturunan Lymlisc yang terkenal elegan, cekatan, dan penuh semangat.

“Apakah Nona penghuni biara?”

“Hah?” Mahalia mengangkat sebelah alisnya. “Bukannya itu sudah jelas?”

“Bukan, maksud saya...” Sambil mengatakan ini, si pemuda memberanikan diri untuk meliriknya. “...apakah Nona seorang biarawati? Sebab jubah yang Nona pakai seperti milik para biarawati, tetapi...”

“Tetapi agak sedikit berbeda?” sambung Mahalia, lalu memperhatikan lengan jubahnya yang berbordir dengan lagak puas. Pendapatnya sedikit berubah. Pemuda ini memang agak polos dan datar, tapi setidaknya dia cukup cerdik untuk menyadari hal tersebut. “Yah, setidaknya kau benar soal aku penghuni biara. Sekarang,” dia melanjutkan dengan nada penting, “karena tindakanmu sudah menyebabkanku terluka, aku akan meminta pertanggungjawabanmu.”

Pemuda itu sekarang memandangnya tak enak.

“Kalau maksud Nona uang...”

“Uang?!” Mahalia terperanjat untuk entah yang keberapa kalinya hari itu. “Dasar kurang ajar! Kau gila ya?! Tentu saja bukan, untuk apa biarawati minta uang?!”

“Maafkan saya Nona, tetapi tadi Anda bilang Anda bukan seorang biarawati..?”

“Umm, maksudku... aku... bukan biarawati, tapi masih sejenis itu.” Dikatakan seperti itu, Mahalia jadi gelagapan. Yang benar saja. Bagaimana caranya menjelaskan dirinya sendiri kepada orang yang tidak mengenalinya, tanpa kedengaran seperti membanggakan diri yang tidak pada tempatnya? “Pokoknya, kau tidak boleh menawarkan uang kepada seorang biarawati Vihelvanja! Itu penghinaan namanya!”

“Saya mengerti, maafkan saya,” kata pemuda itu untuk yang kesekian kalinya, walaupun Mahalia bisa melihat bahwa kali ini dia masih agak kebingungan.

“Sudahlah, kali ini kau kumaafkan karena sepertinya kau tidak tahu apa-apa,” ujar Mahalia, tidak bisa menahan nada cela pada suaranya. “Omong-omong, maksudku, kau harus mengantarku pulang karena aku bahkan tidak bisa berjalan dalam kondisi ini.”

“Oh ya, tentu saja. Lagipula, tadinya saya juga akan menuju ke biara,” katanya, separuh bangkit berdiri, kemudian membatu dengan lutut masih menempel di tanah. “Tapi... bagaimana caranya?”

Mahalia hanya balik menatapnya. “Gendong aku, bodoh.”

Menanggapi perintah barusan, si pemuda diam saja dengan kepala ditundukkan, seperti tidak berani lagi menatap Mahalia secara langsung. Ketika pada akhirnya dia mengangkat wajahnya, kedua manik biru matanya separuh terbenam di bawah ikal rambutnya, mengerling canggung ke arah rerumputan.

“Apakah... saya boleh melakukan hal-hal seperti itu kepada seorang bia—perempuan penghuni biara?”

Mahalia mendengus tak percaya. “’Hal-hal seperti itu’ apa maksudmu? Aku hanya memintamu menggendongku sampai kita tiba di biara!” sergahnya. “Yang merupakan tanggungjawabmu, karena sudah mengiraku sebagai setan pohon serta menyebabkanku terjatuh...”

“Maksud saya, seperti menyentuh Nona?”

“Yah, kecuali kau punya cara lain yang tidak-perlu-menyentuhku supaya kau bisa mengantarku pulang ke biara. Ada?”

Bola mata pemuda itu bergulir kesana kemari sebelum akhirnya dia menjawab pasrah, “Tidak, saya tidak punya cara lain—saya rasa.”

Rambut pemuda ini baunya enak seperti sitrus. Dengan hidung berada hampir persis di puncak kepala si pemuda, Mahalia merasa sedikit senang. Indera penciumannya tak lagi membaui wangi bunga Endelmtas yang ada dimana-mana sepanjang musim ini. Untuk beberapa saat, dia membaui aroma lain. Yang jauh lebih menyegarkan buatnya.

Mahalia merasa harus lega karena meskipun si pemuda tergolong kurus, pun pundaknya tidak terlalu bidang, paling tidak kekuatannya masih bisa membuat Mahalia merasa cukup nyaman dan aman di belakangnya.

“Tapi Nona,” kata si pemuda kemudian, tanpa disangka-sangka memecah keheningan, “saya tidak akan terkena masalah karena terlihat menggendong Nona, tentunya?”

Mendengar ini, Mahalia melepaskan sebuah tawa nyaring.

“Tenang saja, aku akan mengaturnya supaya kita tidak terlihat—lagipula, aku ini sebenarnya sedang pergi diam-diam,” jelasnya lancar. Si pemuda membuat gerakan seperti terkejut atau hendak mempertanyakan informasi terakhir, tetapi sebelum dia menyuarakannya, Mahalia keburu berkata lagi.

“Hanya saja, kalau kau bicara kepada siapapun mengenai sajak yang kaubaca itu—atau tidak berpura-pura melupakannya setelah ini...” Dia mendesis, persis di balik daun telinga si pemuda. Kedua tangan si gadis mencengkeram kaku masing-masing bahunya. “...kupastikan semua orang tahu soal kau membuatku terjatuh atau menyentuhku. Lalu kau akan diserahkan kepada para Eurevail untuk dikebiri!”

***

Sebuah bangunan kecil berdinding bata putih berdiri dikelilingi pepohonan, membatasi area hutan dengan jalanan setapak lebar menuju Feire de Caxias, kota kecil pusat aktivitas biara Vihelvanja. Persis di muka pintunya, tiga orang Eurevail—panggilan untuk para prajurit biara—tengah berdiri. Dua di antaranya nampak mengenakan sejenis kain yang digelung di atas kepala, yang ditata sedemikian caranya hingga menyerupai rambut panjang yang diikat ke belakang. Sementara yang satu lagi tidak mengenakan penutup kepala apa-apa, memperlihatkan rambutnya yang berwarna coklat pudar, khas orang-orang yang selalu berada di bawah terik matahari. Pria yang terakhir ini jangkung, juga berwajah sendu.

Salah satu dari dua Eurevail yang berada bersamanya menunjuk ke arah pepohonan, dari mana Mahalia sedang berjalan tertatih-tatih menghampiri mereka. Si pria ketiga menoleh, membelalak takjub, kemudan berlari menyongsong sambil menyumpah.

Demi Versailith—Ma!” panggilnya.

Yang dipanggil berjalan buru-buru, antara melompat-lompat dan menyeret kaki.

“Selamat siang menjelang sore, oh wahai ksatria Vihelvanja yang paling brilian pada masanya, kapten baru kita yang tercinta, Kapten Hiram!” katanya dramatis seraya membungkuk dalam-dalam.

“Kau mabuk ya?!” bentak si pria. “Seisi biara kalang kabut gara-gara kau, tahu! Dan apa yang terjadi dengan kakimu?”

“Jatuh,” jawab Mahalia tanpa dosa.

“Dari mana kali ini?”

“Dari mana ya...?”

“Kau pergi kemana? Melakukan apa?”

“Hmmm, tergantung. Kau hanya ingin tahu, atau saaangat ingin tahu?”

Sepertinya Kapten Hiram sudah merasa cukup puas menerima tanggapan kurang ajar dari si gadis, jadi dengan rahang kaku, dia menukas, “Baiklah, kau jelaskan sendiri saja kepada abbess Thalasa. Akan kuantar kau padanya.”

“Tidak, jangan. Jangan!” Mahalia langsung membuang segala lagak pongahnya, yang saat ini digantikan oleh kengerian. Kedua tangannya dikalungkan di lengan sang kapten dalam usaha melancarkan permohonan. “Jangan dia! Kau tahu seperti apa dia—”

“Ya, justru karena itulah, kupikir sudah waktunya kami menyerahkan urusan menanganimu kepadanya.”

“Maksudmu, kau yang sengaja memberitahunya tentang aku ini?!”

“Ma, kau sudah berulangkali keluar masuk biara seenaknya tanpa ijin pada saat mereka membutuhkanmu untuk diam di tempat. Jangan pikir hal ini tidak akan bocor ke telinga beliau—bahkan sekalipun para biarawati itu biasanya sangat membelamu!”

Lubang hidung Mahalia kembang kempis menahan ketakutan bercampur kejengkelan. Butuh waktu beberapa detik sebelum akhirnya dia meledak.

“Kak Kiernan! Bagaimana bisa kau tega melakukan hal ini kepadaku?!”

“Kiernan?”

Panggilan yang terakhir menunda sang kapten untuk memberikan kuliah tambahan kepada Mahalia. Untuk pertama kalinya, dia memperhatikan kehadiran seorang pemuda di belakang si gadis yang tengah merengek-rengek keras.

“Nat!” Dia menyapa, menyingkirkan Mahalia untuk menjabat tangan si pemuda. “Astaga, aku sudah berpikir kau akan datang berminggu-minggu setelah festivalnya selesai!”

“Aku mencarimu kemana-mana,” terang si pemuda berambut perak yang dipanggil Nat. “Tapi aku tak menemukan seorangpun yang tahu pria bernama Kiernan. Hampir saja aku menyerah, sebab kalaupun akhirnya aku memutuskan untuk mencari seorang diri, aku yakin aku tidak akan mengenalimu. Dan benar saja, kalau tidak ada kebetulan ini...”

Lawan bicaranya terkekeh. “Kau beruntung, kalau begitu,” timpalnya setuju. “Ah, sepertinya sudah hampir tujuh tahun sejak terakhir kali aku melihatmu di Vihnitsa. Dulu kau masih bocah. Sekarang nampaknya kau tambah tinggi, tapi wajahmu... tidak banyak berubah.”

“Sayangnya, kau benar. Kurasa tak ada kemajuan berarti dalam hidupku selama tujuh tahun ini selain tinggi badanku—tidak sepertimu,” Nat nyengir penuh arti. “Kapten Hiram?”

Sang Kapten tersenyum kecut.

“Begitulah. Semua orang mengenaliku sebagai Kapten Hiram sekarang.”

“Tunggu, kau tahu orang ini?” Mahalia menyela masuk di antara mereka, bertanya seolah tak percaya kepada sang kapten sambil sesekali melempar pandang bingung ke arah Nat. “Kenapa dia tahu nama panggilanmu?”

Yang ditanya malah balik menatap mereka berdua bergantian.

“Nat, kau tadi bersama anak ini?”

Nat mengerling Mahalia. “Um, ya,” jawabnya hati-hati. “Aku bertemu dengannya ketika sedang... melintas di bawah pohon.”

“Kau harus dengar, Kak. Pemuda ini aneh sekali. Masak dia menyangkaiku sebagai setan pohon. Benar-benar bodoh,” cerita Mahalia sambil tertawa-tawa kecil, seolah Nat tidak kasat mata.

“Ma!” tegur Kapten Hiram galak. “Mana sopan santunmu? Nat ini anggota keluarga besar kerajaan!”

“Ah, apa peduliku,” tepis Mahalia acuh tak acuh. “Lagipula, dia juga tidak tahu siapa aku.”

Kapten Hiram melengos menyerah. “Maaf Nat, tolong jangan diambil hati. Mahalia ini memang selalu begitu. Dia pikir dia hebat sekali karena dia ini, sebetulnya, keturunan Magnadia yang paling muda.”

Mendengar informasi ini, sepasang mata Nat yang sipit sedikit melebar.

“Anak Gadis Marquelith?”

“Yep. Ini dia, walau mungkin tidak seperti ekspektasi orang-orang.”

“Apa?” tanya Mahalia menantang. “Kata orang, para pemuda yang sempat melihat Anak Gadis Marquelith pada masanya pastilah sangat diberkati oleh Ilheus. Kau, harusnya merasa sangat terhormat sebab kau bahkan bisa bicara denganku.”

“Mungkin artinya sudah tidak banyak bagi para pemuda itu, saking seringnya kau berkeliaran menampakkan diri kesana-kemari,” desis Sang Kapten mencela.

“Ah tidak, Nona benar, saya sepatutnya merasa tersanjung.” Si pemuda membungkuk singkat, tapi wajahnya menyiratkan kegelian—yang tidak berhasil meredam ketidaksukaan Mahalia. “Ilheus pastilah sangat memberkati saya hari ini, karena selain bertemu dan berbicara dengan Nona, saya juga berkesempatan belajar bahwa bahkan mereka yang paling dekat dengan Roh pun bisa memiliki sisi pribadi yang cukup unik.”

Mahalia tersentak panik. “Oh, kau tidak akan bicara soal itu!” ancamnya buru-buru.

“Hm? Saya bicara tentang pemilihan tempat menyepi Anda yang... cukup rimbun,” ujar Nat, tersenyum manis dan ramah. “Maksud saya, siapa yang bangun pagi-pagi dan menyangka hari itu akan menemukan Anak Gadis Marquelith jatuh dari pohon? Tapi saya mohon maaf, jika perkataan saya membuat Nona salah paham dan menyangka saya sedang membicarakan hal-hal lain yang tidak sepantasnya saya bicarakan di sini...”

“Kau...!” Sekarang mulut Mahalia menganga tak berdaya, tak mampu menyelesaikan perkataannya karena mendadak merasa minim perbendaharaan kata. Bicara soal sangka-menyangka, siapa yang menyangka pemuda kota yang awalnya terlihat polos, baik, dan lugu ini bisa berubah menjadi seorang penjahat psikologis begitu menyadari bahwa Mahalia—tidak seperti bagaimana dia menakut-nakuti si pemuda beberapa puluh menit yang lalu—sebenarnya tak punya banyak kekuasaan di sini, dan bahwa dia diuntungkan oleh pertemanannya dengan sang Kapten, yang saat ini tengah melirik Mahalia penuh kecurigaan.

“Apa maksudnya, Ma?” Dia mulai menginterogasi. “Apa yang sebenarnya terjadi?”

“B-bukan apa-apa,” sahut Mahalia defensif. Tangannya disisipkan ke kantung depan jubahnya, memastikan bukunya aman tersimpan serta tidak terlihat timbul ke permukaan.

“Lalu ada apa ini mengenai kau dan pohon? Kalau ini seperti yang kupikirkan...”

“A-aku memanjat naik lalu jatuh, itu saja. Gara-gara dia ini!” serunya menambahkan, menunjuk pada Nat dan berharap itu bisa mengalihkan perhatian sang Kapten. Tetapi dalam tahapan ini, mengembalikan kepercayaan pria itu kepadanya adalah hal yang mustahil, meskipun pernyataan yang terakhir ini ada benarnya.

“Aku akan bicara denganmu nanti, Ma,” katanya tegas, lalu berpaling kepada si pemuda, yang dalam pengelihatan Mahalia nampak seperti sedang berusaha untuk tidak terlalu merasa terhibur. “Nat, sebelumnya, aku minta maaf mengenai kesulitan apapun yang mungkin kaualami karena anak ini. Dia sudah seperti adikku, jadi aku tahu bahwa meskipun dia seringkali bersikap manja dan keterlaluan, sebenarnya dia tidak bermaksud jahat. Kuharap biara tidak meninggalkan kesan buruk bagi keluarga Tevis karena masalah ini.”

“Oh, jangan khawatir soal itu, Kapten.”

“Aku akan membawamu menemui Kardinal beberapa saat lagi. Untuk sementara, kuharap kau tidak keberatan anak buahku yang akan mengantarmu menuju Bangunan Timur.”

“Santai saja. Omong-omong, kau berhutang ceritamu selama tujuh tahun padaku.”

Kapten Hiram nyengir lebar menanggapi permintaan yang satu ini. “Kau masih sama ingin tahunya seperti dulu, bocah.”

“Sampai ketemu. Dan saya harap kita berjumpa lagi, Nona Mahalia.”

Mahalia mendelik kepada pemuda itu, membalas salamnya dengan dengusan keras. “Akan kuingat kau... Nat.”

“Sebuah kehormatan.”

Selepas kepergian si pemuda diiringi oleh kedua Eurevail yang tadi berjaga bersama Hiram, Mahalia melirik sang Kapten dengan cemas.

“Kau... tidak serius mau menyerahkanku kepada Perawan Api, tentunya?”

Sang Kapten tidak segera menjawab. “Maafkan aku, Ma. Aku tidak sekedar mengancam kali ini. Abbess Thalasa sendiri yang memintaku untuk membawamu kepadanya untuk berbicara.”

“Berbicara!” ulang Mahalia, melipat tangannya dengan marah. “Dan itu persisnya yang selalu berusaha kuhindari selama beberapa minggu ini! Tapi ah, dia tahu aku tidak pernah bisa menolakmu. Dasar licik.”

Hiram tersenyum, mau tak mau melunak juga akhirnya. “Dengarkan aku, Ma. Aku tahu kau merasa tertekan karena omongan-omongan para petinggi akhir-akhir ini, tapi cobalah untuk setidaknya bertahan menjalani apapun yang mereka suruh. Aku yakin ketika sudah waktunya nanti, mereka akan menyerah. Seperti yang selalu kaubilang, pada akhirnya kaulah yang akan menentukan—bukan begitu?”

“Gampang buatmu bicara begitu. Yang menjalani kan aku,” bantah Mahalia. “Para petinggi itu... mereka membuatku gila. Mereka memperlakukanku seperti wanita berumur yang tidak kunjung menikah, tapi mengurungku seperti sejenis unggas suci...”

“Mereka hanya tidak ingin Anak Gadis Marquelith berakhir dengan sembarang pemuda. Yang menurutku, sangat bisa dimengerti.”

“Kau mengerti mereka, tapi bagaimana denganku?” Mahalia kembali memprotes. “Memangnya salah kalau aku berharap bisa menemukan cintaku sendiri, dan bukannya membiarkan mereka memilihkan orang-orang tertentu? Maaf, tapi aku bukan ibuku. Aku tidak sudi diperlakukan seolah-olah aku ini semacam hadiah yang ditawarkan bagi para keturunan bangsawan manja yang berlomba-lomba menjilat biara. Bukan pemuda-pemuda macam ini yang kuperlukan! Aku ingin cinta yang mendebarkan!”

Perkataannya yang panjang lebar ini diakhiri dengan sebuah desahan tragis. Tetapi semuanya gagal mendapat pengertian dari sang Kapten, yang hanya bisa balik menatap si gadis. Dahinya berkerut.

“Kupikir kau terlalu banyak menonton pertunjukan drama picisan di pinggir kota,” komentarnya datar. “Ini sebabnya, aku juga tidak setuju kau sering-sering keluar. Ma, kau ini mudah sekali dipengaruhi.”

“Astaga! Bagaimana kau bisa begitu tak punya hati?!”

“Ma, aku khawatir pemuda yang akan memberimu ‘cinta yang mendebarkan’ tidak akan pernah datang. Semua yang kaupikiran itu hanya ada di dalam tontonanmu... kau mengerti? Kau perlu sedikit lebih realistis dalam menyikapi masalah ini.”

“Kenapa aku harus mendengarkan perkataan ini darimu?”

Sepasang mata Mahalia menatap pria di hadapannya lurus-lurus.

“Maaf?”

“Oh, Kapten, kita berdua tahu kenapa kau masih sendirian sampai sekarang.”

“Ma, kita tidak sedang bicara tentang aku,” Hiram mengingatkan dengan tegas begitu menyadari maksud pembicaraan si gadis.

“Karena semua ini ada hubungannya, kan?”

“Tidak, aku tidak bisa melihat kaitannya. Masalahnya di sini adalah...”

“Lebih terkait daripada yang kaupikir.”

Mahalia berdiri goyah, menatap muram ke arah jalanan yang ditutupi daun, tetapi Hiram menyipitkan matanya tak paham.

“Sudahlah,” kata sang Kapten beberapa saat kemudian, sepertinya memutuskan begitu lebih karena merasa perlu mengakhiri pembicaraan yang mulai tidak terasa nyaman buatnya. “Kita akan bicara lagi lain waktu. Biar kuantar kau ke Bangunan Utama untuk meminta mereka menyembuhkan cederamu. Setelah itu baru aku akan mengantarmu kepada abbess Thalasa, oke?”

Meski wajahnya masih jauh dari cerah, Mahalia mengangguk.

“Bisa tidak kita lewatkan saja yang terakhir?”

Hiram tertawa sedikit. “Sayangnya tidak. Jangan berpikir terlalu banyak,” nasihatnya, dan sambil mengatakan ini, dia menaruh tangannya di puncak kepala Mahalia. “Kau hanya perlu menjawabnya seperti yang biasa kaulakukan. Dia tidak bisa melakukan apa-apa terhadapmu. Kau Anak Gadis Marquelith kami yang berharga, ingat?”

“Itu sudah pasti. Boleh aku bersandar padamu? Susah berjalan dengan keadaan begini.”

“Tentu saja,” kata sang Kapten mengijinkan, tetapi tidak sebelum dia menarik lepas sehelai kelopak bunga yang menyangkut di rambut Mahalia. “Endelmtas?”

“Ya,” Mahalia mengiyakan sementara mereka berjalan bersisian menapaki jalan menuju pusat kota. Yang satu jangkung dan tegap, yang satu mungil dan ringkih—berjalan tertatih-tatih dalam rangkulan yang lain. “Mengingatkan akan banyak hal, bukan begitu?”

***
(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar