GLG:
Side Story
Mahalia
[1]
Kelopak-kelopak
bunga Endelmtas yang berwarna biru dibawa terbang oleh tiupan angin ke berbagai
penjuru. Salah satunya singgah di atas lembaran buku yang terbuka pada pangkuan
seorang gadis. Salah dua hinggap pada sela-sela rambutnya yang panjang
berantakan. Lebih banyak lagi berhembus melewatinya bersama angin, menggelitik
indera penciuman dengan aroma yang tajam.
Mahalia
bersin. Lalu ditepisnya kelopak-kelopak biru dari permukaan buku serta puncak
rambutnya. Kakinya menjuntai, bergoyang-goyang lincah dari atas dahan pohon
tempat dia sedang duduk menulis.
“Urgh,
aku tidak suka bau bunga ini!” gerutunya.
Jemarinya
kembali menelusuri garis-garis di atas buku, mencoba membaca kembali apa yang
sudah tertulis sebelum memikirkan lanjutan yang mau ditulisnya. Sepasang
alisnya yang hitam dan tebal membentuk lekukan kala kerutan muncul pada
dahinya.
“Hmmm...
semilir angin... membawakan... janji-janji...”
Sementara
mulutnya menggumamkan kata-kata barusan, tangannya memegang pena, bersiap
menggubahnya menjadi tulisan. Namun sebelum ia bisa melakukannya, pohon
tempatnya duduk berguncang keras layaknya terkena gempa.
“Aaa!”
Sebelum
dia sempat mencari tahu apa gerangan yang sedang terjadi, sebuah suara
terdengar dari bawah.
“Keluar
kau setan pohon!”
“Setan
pohon..?!” Mahalia terperanjat. Dia menjulurkan lehernya untuk melihat sosok si
pemilik suara, berniat meneriakkan sebuah protes sekaligus klarifikasi, tapi
guncangan berikutnya keburu datang—jauh lebih keras dari yang sebelumnya, hingga
buku milik si gadis meluncur jatuh dari pangkuannya.
“Ya
ampun!” bisiknya.
Terdengar
bunyi lembaran-lembaran kertas yang membuka dan mengatup di tengah udara, lalu
bunyi gedebuk, dan yang terakhir, suara orang berkata “Aduh!”. Mahalia tidak
yakin bagaimana persisnya, tapi bukunya pasti jatuh menimpa kepala orang yang
tadi meneriakinya setan pohon. Sejenak, Mahalia terkikik pelan mensyukuri, tapi
kemudian dia tersadar.
Buku sajak karangannya.
Tidak untuk dibaca siapapun kecuali dirinya sendiri.
“Tidak,
jangan dibaca!” serunya. Dalam keadaan panik, Mahalia malah terjun bebas dari
atas pohon mengikuti jejak bukunya.
“Mencintaimu seperti sekuntum
bunga Amargo di musim dingin,
yang tidak akan mekar.
Aku Amar, dan kau Indigo,
Aku dan apa yang kusimpan
untukmu, dan apa yang
kausimpan,
untuk sang surya, Athala.
Menunggu musim semi yang
akan datang
setelah akhir dari
selamanya.”
Mahalia
hanya bisa mengerang pasrah sambil mencium rumput mendengar sajaknya dibacakan.
Badannya terasa sakit, terutama tangan kanan dan lutut yang sempat dia gunakan
untuk menahan jatuh. Jadi kalaupun saat ini hatinya menjerit malu bercampur
kesal, sepertinya dia tidak akan bisa bergerak tanpa bantuan.
“Aku
tidak tahu setan pohon bisa menulis sajak.” Didengarnya suara itu berkomentar,
dengan suara yang lebih tenang. Suara laki-laki yang dalam tetapi nyaring, mau
tidak mau mengingatkan Mahalia akan bunyi aliran air sungai Viendras.
Mahalia
ingin membentak mengancam pria sialan itu supaya dia jangan tertawa, tapi yang keluar
dari mulutnya hanya suara gumaman tak jelas.
Ada
suara langkah-langkah mendekat. Membungkuk. Lalu sepasang tangan menyangga
lengannya yang terasa ngilu. Mahalia berbalik, sepasang matanya yang berair
bertemu dengan sepasang mata sipit kebiruan milik penolongnya. Butuh waktu
beberapa detik bagi penglihatannya supaya berhenti mengabur, dan ketika itu
terjadi, Mahalia bisa melihat wajahnya dengan lebih jelas. Dan juga rambut perak
keriting berantakan. Sepasang giwang berbatu ungu kecil di kedua telinga. Tato
hijau gelap berbentuk melingkar di salah satu sisi leher. Pakaian berbahan linen,
berwarna merah darah. Orang kerajaan.
“Dan
aku juga baru tahu bahwa setan pohon ternyata... cantik.”
“Itu
karena aku bukan setan pohon, idiot!” Mahalia menampik tangan pemuda itu
menggunakan tangannya yang satu lagi. “Dan jangan berani-beraninya melemparkan
gombalan menjijikkan padaku... kau...”
“Maafkan
saya, Nona,” kata pemuda itu buru-buru, mendadak santun. “Kupikir pujian
semacam itu akan membuat perasaan Anda lebih baik, karena kalau disimpulkan
dari sajak buatan Anda...”
Apa?
Mahalia
murka. “Kaubilang sajak buatanku menjijikkan?!”
“Sungguh
tidak bermaksud begitu, Nona. Tapi ah, Anda yang mengatakannya sendiri.”
Ditatapnya
pemuda itu sambil membelalak. Selain mengatainya setan pohon, pemuda ini telah
menyebabkannya mendapat kecelakaan—dan masih juga mempermalukannya dengan
membaca lalu mengejek sajak buatannya secara tidak langsung. Padahal beberapa
menit yang lalu rasanya Mahalia masih duduk tenang di tempat kesukaannya.
Padahal... coba ingatkan lagi, siapa sih
dirinya ini.
“Saya
benar-benar minta maaf,” kata pemuda itu mengulangi. Sepasang matanya yang
sipit memandang penasaran pada Mahalia, meski kepalanya kini ditundukkan demi alasan
kesopanan.
“Kau...
tidak tahu siapa aku?”
Pemuda
itu menggeleng.
“Yang
jelas Anda bukan setan pohon.”
“Tentu
saja bukan! Tidak ada yang namanya setan pohon di Waldheim!” geram Mahalia tak
sabar. Orang ini benar-benar dungu ya?
“Satu-satunya entitas spiritual yang ada di dunia ini hanyalah para Roh yang
diutus demi kebaikan kita. Roh terang ataupun kegelapan, dua-duanya bertujuan
baik untuk menuntun kita pada jalan yang benar—jadi tidak ada yang namanya setan
apapun. Kau mengerti?”
“Ya,
saya mengerti. ”
“Dan
jangan pernah memperlakukan pohon dengan semena-mena, apalagi menendang mereka!
Tumbuh-tumbuhan adalah makhluk berharga yang diciptakan, dikasihi, dan
dipelihara oleh Tiga Roh Utama. Kau mengerti?”
“Ya,
saya mengerti.”
“Satu
lagi, kau tidak boleh mengintip isi buku seorang wanita meskipun buku itu jatuh
di depan hidungmu sekalipun! Itu bukan tindakan seorang pria terhormat! Kau
mengerti?”
“Ya,
saya mengerti.”
“Kalaupun
kau terlanjur membacanya—sengaja ataupun tidak sengaja, jangan pernah berkomentar
soal itu! Mengerti?”
“Ya,
saya mengerti.”
“Bagus!”
pungkas Mahalia puas. Dalam pikirannya, dia meragukan apa benar pemuda ini
orang kerajaan seperti bagaimana penampilannya berkata. Menurut Mahalia, tindak-tanduknya
terkesan menyimpang dari karakteristik keturunan Lymlisc yang terkenal elegan,
cekatan, dan penuh semangat.
“Apakah
Nona penghuni biara?”
“Hah?”
Mahalia mengangkat sebelah alisnya. “Bukannya itu sudah jelas?”
“Bukan,
maksud saya...” Sambil mengatakan ini, si pemuda memberanikan diri untuk
meliriknya. “...apakah Nona seorang biarawati? Sebab jubah yang Nona pakai
seperti milik para biarawati, tetapi...”
“Tetapi
agak sedikit berbeda?” sambung Mahalia, lalu memperhatikan lengan jubahnya yang
berbordir dengan lagak puas. Pendapatnya sedikit berubah. Pemuda ini memang
agak polos dan datar, tapi setidaknya dia cukup cerdik untuk menyadari hal
tersebut. “Yah, setidaknya kau benar soal aku penghuni biara. Sekarang,” dia
melanjutkan dengan nada penting, “karena tindakanmu sudah menyebabkanku
terluka, aku akan meminta pertanggungjawabanmu.”
Pemuda
itu sekarang memandangnya tak enak.
“Kalau
maksud Nona uang...”
“Uang?!”
Mahalia terperanjat untuk entah yang keberapa kalinya hari itu. “Dasar kurang
ajar! Kau gila ya?! Tentu saja bukan, untuk apa biarawati minta uang?!”
“Maafkan
saya Nona, tetapi tadi Anda bilang Anda bukan seorang biarawati..?”
“Umm,
maksudku... aku... bukan biarawati, tapi masih sejenis itu.” Dikatakan seperti
itu, Mahalia jadi gelagapan. Yang benar saja. Bagaimana caranya menjelaskan dirinya
sendiri kepada orang yang tidak mengenalinya, tanpa kedengaran seperti
membanggakan diri yang tidak pada tempatnya? “Pokoknya, kau tidak boleh
menawarkan uang kepada seorang biarawati Vihelvanja! Itu penghinaan namanya!”
“Saya
mengerti, maafkan saya,” kata pemuda itu untuk yang kesekian kalinya, walaupun
Mahalia bisa melihat bahwa kali ini dia masih agak kebingungan.
“Sudahlah,
kali ini kau kumaafkan karena sepertinya kau tidak tahu apa-apa,” ujar Mahalia,
tidak bisa menahan nada cela pada suaranya. “Omong-omong, maksudku, kau harus
mengantarku pulang karena aku bahkan tidak bisa berjalan dalam kondisi ini.”
“Oh
ya, tentu saja. Lagipula, tadinya saya juga akan menuju ke biara,” katanya,
separuh bangkit berdiri, kemudian membatu dengan lutut masih menempel di tanah.
“Tapi... bagaimana caranya?”
Mahalia
hanya balik menatapnya. “Gendong aku, bodoh.”
Menanggapi
perintah barusan, si pemuda diam saja dengan kepala ditundukkan, seperti tidak
berani lagi menatap Mahalia secara langsung. Ketika pada akhirnya dia
mengangkat wajahnya, kedua manik biru matanya separuh terbenam di bawah ikal
rambutnya, mengerling canggung ke arah rerumputan.
“Apakah...
saya boleh melakukan hal-hal seperti itu kepada seorang bia—perempuan penghuni
biara?”
Mahalia
mendengus tak percaya. “’Hal-hal seperti itu’ apa maksudmu? Aku hanya memintamu
menggendongku sampai kita tiba di biara!” sergahnya. “Yang merupakan
tanggungjawabmu, karena sudah mengiraku sebagai setan pohon serta menyebabkanku
terjatuh...”
“Maksud
saya, seperti menyentuh Nona?”
“Yah,
kecuali kau punya cara lain yang tidak-perlu-menyentuhku supaya kau bisa
mengantarku pulang ke biara. Ada?”
Bola
mata pemuda itu bergulir kesana kemari sebelum akhirnya dia menjawab pasrah,
“Tidak, saya tidak punya cara lain—saya rasa.”
Rambut
pemuda ini baunya enak seperti sitrus. Dengan hidung berada hampir persis di
puncak kepala si pemuda, Mahalia merasa sedikit senang. Indera penciumannya tak
lagi membaui wangi bunga Endelmtas yang ada dimana-mana sepanjang musim ini. Untuk
beberapa saat, dia membaui aroma lain. Yang jauh lebih menyegarkan buatnya.
Mahalia
merasa harus lega karena meskipun si pemuda tergolong kurus, pun pundaknya
tidak terlalu bidang, paling tidak kekuatannya masih bisa membuat Mahalia
merasa cukup nyaman dan aman di belakangnya.
“Tapi
Nona,” kata si pemuda kemudian, tanpa disangka-sangka memecah keheningan, “saya
tidak akan terkena masalah karena terlihat menggendong Nona, tentunya?”
Mendengar
ini, Mahalia melepaskan sebuah tawa nyaring.
“Tenang
saja, aku akan mengaturnya supaya kita tidak terlihat—lagipula, aku ini
sebenarnya sedang pergi diam-diam,” jelasnya lancar. Si pemuda membuat gerakan
seperti terkejut atau hendak mempertanyakan informasi terakhir, tetapi sebelum
dia menyuarakannya, Mahalia keburu berkata lagi.
“Hanya
saja, kalau kau bicara kepada siapapun mengenai sajak yang kaubaca itu—atau
tidak berpura-pura melupakannya setelah ini...” Dia mendesis, persis di balik
daun telinga si pemuda. Kedua tangan si gadis mencengkeram kaku masing-masing
bahunya. “...kupastikan semua orang tahu soal kau membuatku terjatuh atau menyentuhku.
Lalu kau akan diserahkan kepada para Eurevail untuk dikebiri!”
***
Sebuah
bangunan kecil berdinding bata putih berdiri dikelilingi pepohonan, membatasi
area hutan dengan jalanan setapak lebar menuju Feire de Caxias, kota kecil
pusat aktivitas biara Vihelvanja. Persis di muka pintunya, tiga orang
Eurevail—panggilan untuk para prajurit biara—tengah berdiri. Dua di antaranya
nampak mengenakan sejenis kain yang digelung di atas kepala, yang ditata sedemikian
caranya hingga menyerupai rambut panjang yang diikat ke belakang. Sementara
yang satu lagi tidak mengenakan penutup kepala apa-apa, memperlihatkan
rambutnya yang berwarna coklat pudar, khas orang-orang yang selalu berada di
bawah terik matahari. Pria yang terakhir ini jangkung, juga berwajah sendu.
Salah
satu dari dua Eurevail yang berada bersamanya menunjuk ke arah pepohonan, dari
mana Mahalia sedang berjalan tertatih-tatih menghampiri mereka. Si pria ketiga
menoleh, membelalak takjub, kemudan berlari menyongsong sambil menyumpah.
“Demi Versailith—Ma!” panggilnya.
Yang
dipanggil berjalan buru-buru, antara melompat-lompat dan menyeret kaki.
“Selamat
siang menjelang sore, oh wahai ksatria Vihelvanja yang paling brilian pada
masanya, kapten baru kita yang tercinta, Kapten Hiram!” katanya dramatis seraya
membungkuk dalam-dalam.
“Kau
mabuk ya?!” bentak si pria. “Seisi biara kalang kabut gara-gara kau, tahu! Dan
apa yang terjadi dengan kakimu?”
“Jatuh,”
jawab Mahalia tanpa dosa.
“Dari
mana kali ini?”
“Dari
mana ya...?”
“Kau
pergi kemana? Melakukan apa?”
“Hmmm,
tergantung. Kau hanya ingin tahu, atau saaangat
ingin tahu?”
Sepertinya
Kapten Hiram sudah merasa cukup puas menerima tanggapan kurang ajar dari si
gadis, jadi dengan rahang kaku, dia menukas, “Baiklah, kau jelaskan sendiri
saja kepada abbess Thalasa. Akan
kuantar kau padanya.”
“Tidak,
jangan. Jangan!” Mahalia langsung
membuang segala lagak pongahnya, yang saat ini digantikan oleh kengerian. Kedua
tangannya dikalungkan di lengan sang kapten dalam usaha melancarkan permohonan.
“Jangan dia! Kau tahu seperti apa dia—”
“Ya,
justru karena itulah, kupikir sudah waktunya kami menyerahkan urusan
menanganimu kepadanya.”
“Maksudmu,
kau yang sengaja memberitahunya
tentang aku ini?!”
“Ma,
kau sudah berulangkali keluar masuk biara seenaknya tanpa ijin pada saat mereka
membutuhkanmu untuk diam di tempat. Jangan pikir hal ini tidak akan bocor ke
telinga beliau—bahkan sekalipun para biarawati itu biasanya sangat membelamu!”
Lubang
hidung Mahalia kembang kempis menahan ketakutan bercampur kejengkelan. Butuh waktu
beberapa detik sebelum akhirnya dia meledak.
“Kak
Kiernan! Bagaimana bisa kau tega melakukan hal ini kepadaku?!”
“Kiernan?”
Panggilan
yang terakhir menunda sang kapten untuk memberikan kuliah tambahan kepada
Mahalia. Untuk pertama kalinya, dia memperhatikan kehadiran seorang pemuda di
belakang si gadis yang tengah merengek-rengek keras.
“Nat!”
Dia menyapa, menyingkirkan Mahalia untuk menjabat tangan si pemuda. “Astaga,
aku sudah berpikir kau akan datang berminggu-minggu setelah festivalnya selesai!”
“Aku
mencarimu kemana-mana,” terang si pemuda berambut perak yang dipanggil Nat.
“Tapi aku tak menemukan seorangpun yang tahu pria bernama Kiernan. Hampir saja
aku menyerah, sebab kalaupun akhirnya aku memutuskan untuk mencari seorang
diri, aku yakin aku tidak akan mengenalimu. Dan benar saja, kalau tidak ada
kebetulan ini...”
Lawan
bicaranya terkekeh. “Kau beruntung, kalau begitu,” timpalnya setuju. “Ah,
sepertinya sudah hampir tujuh tahun sejak terakhir kali aku melihatmu di
Vihnitsa. Dulu kau masih bocah. Sekarang nampaknya kau tambah tinggi, tapi
wajahmu... tidak banyak berubah.”
“Sayangnya,
kau benar. Kurasa tak ada kemajuan berarti dalam hidupku selama tujuh tahun ini
selain tinggi badanku—tidak sepertimu,” Nat nyengir penuh arti. “Kapten Hiram?”
Sang
Kapten tersenyum kecut.
“Begitulah.
Semua orang mengenaliku sebagai Kapten Hiram sekarang.”
“Tunggu,
kau tahu orang ini?” Mahalia menyela masuk di antara mereka, bertanya seolah
tak percaya kepada sang kapten sambil sesekali melempar pandang bingung ke arah
Nat. “Kenapa dia tahu nama panggilanmu?”
Yang
ditanya malah balik menatap mereka berdua bergantian.
“Nat,
kau tadi bersama anak ini?”
Nat
mengerling Mahalia. “Um, ya,” jawabnya hati-hati. “Aku bertemu dengannya ketika
sedang... melintas di bawah pohon.”
“Kau
harus dengar, Kak. Pemuda ini aneh sekali. Masak dia menyangkaiku sebagai setan
pohon. Benar-benar bodoh,” cerita Mahalia sambil tertawa-tawa kecil, seolah Nat
tidak kasat mata.
“Ma!”
tegur Kapten Hiram galak. “Mana sopan santunmu? Nat ini anggota keluarga besar
kerajaan!”
“Ah,
apa peduliku,” tepis Mahalia acuh tak acuh. “Lagipula, dia juga tidak tahu
siapa aku.”
Kapten
Hiram melengos menyerah. “Maaf Nat, tolong jangan diambil hati. Mahalia ini memang
selalu begitu. Dia pikir dia hebat sekali karena dia ini, sebetulnya, keturunan
Magnadia yang paling muda.”
Mendengar
informasi ini, sepasang mata Nat yang sipit sedikit melebar.
“Anak
Gadis Marquelith?”
“Yep.
Ini dia, walau mungkin tidak seperti ekspektasi orang-orang.”
“Apa?”
tanya Mahalia menantang. “Kata orang, para pemuda yang sempat melihat Anak Gadis
Marquelith pada masanya pastilah sangat diberkati oleh Ilheus. Kau, harusnya
merasa sangat terhormat sebab kau bahkan bisa bicara denganku.”
“Mungkin
artinya sudah tidak banyak bagi para pemuda itu, saking seringnya kau berkeliaran
menampakkan diri kesana-kemari,” desis Sang Kapten mencela.
“Ah
tidak, Nona benar, saya sepatutnya merasa tersanjung.” Si pemuda membungkuk
singkat, tapi wajahnya menyiratkan kegelian—yang tidak berhasil meredam
ketidaksukaan Mahalia. “Ilheus pastilah sangat memberkati saya hari ini, karena
selain bertemu dan berbicara dengan Nona, saya juga berkesempatan belajar bahwa
bahkan mereka yang paling dekat dengan Roh pun bisa memiliki sisi pribadi yang
cukup unik.”
Mahalia
tersentak panik. “Oh, kau tidak akan bicara soal itu!” ancamnya buru-buru.
“Hm?
Saya bicara tentang pemilihan tempat menyepi Anda yang... cukup rimbun,” ujar
Nat, tersenyum manis dan ramah. “Maksud saya, siapa yang bangun pagi-pagi dan
menyangka hari itu akan menemukan Anak Gadis Marquelith jatuh dari pohon? Tapi
saya mohon maaf, jika perkataan saya membuat Nona salah paham dan menyangka
saya sedang membicarakan hal-hal lain yang tidak sepantasnya saya bicarakan di
sini...”
“Kau...!”
Sekarang mulut Mahalia menganga tak berdaya, tak mampu menyelesaikan
perkataannya karena mendadak merasa minim perbendaharaan kata. Bicara soal
sangka-menyangka, siapa yang menyangka
pemuda kota yang awalnya terlihat polos, baik, dan lugu ini bisa berubah
menjadi seorang penjahat psikologis begitu menyadari bahwa Mahalia—tidak
seperti bagaimana dia menakut-nakuti si pemuda beberapa puluh menit yang
lalu—sebenarnya tak punya banyak kekuasaan di sini, dan bahwa dia diuntungkan
oleh pertemanannya dengan sang Kapten, yang saat ini tengah melirik Mahalia
penuh kecurigaan.
“Apa
maksudnya, Ma?” Dia mulai menginterogasi. “Apa yang sebenarnya terjadi?”
“B-bukan
apa-apa,” sahut Mahalia defensif. Tangannya disisipkan ke kantung depan
jubahnya, memastikan bukunya aman tersimpan serta tidak terlihat timbul ke
permukaan.
“Lalu
ada apa ini mengenai kau dan pohon? Kalau ini seperti yang kupikirkan...”
“A-aku
memanjat naik lalu jatuh, itu saja. Gara-gara dia ini!” serunya menambahkan,
menunjuk pada Nat dan berharap itu bisa mengalihkan perhatian sang Kapten.
Tetapi dalam tahapan ini, mengembalikan kepercayaan pria itu kepadanya adalah
hal yang mustahil, meskipun pernyataan yang terakhir ini ada benarnya.
“Aku
akan bicara denganmu nanti, Ma,” katanya tegas, lalu berpaling kepada si
pemuda, yang dalam pengelihatan Mahalia nampak seperti sedang berusaha untuk tidak
terlalu merasa terhibur. “Nat, sebelumnya, aku minta maaf mengenai kesulitan
apapun yang mungkin kaualami karena anak ini. Dia sudah seperti adikku, jadi
aku tahu bahwa meskipun dia seringkali bersikap manja dan keterlaluan,
sebenarnya dia tidak bermaksud jahat. Kuharap biara tidak meninggalkan kesan
buruk bagi keluarga Tevis karena masalah ini.”
“Oh,
jangan khawatir soal itu, Kapten.”
“Aku
akan membawamu menemui Kardinal beberapa saat lagi. Untuk sementara, kuharap
kau tidak keberatan anak buahku yang akan mengantarmu menuju Bangunan Timur.”
“Santai
saja. Omong-omong, kau berhutang ceritamu selama tujuh tahun padaku.”
Kapten
Hiram nyengir lebar menanggapi permintaan yang satu ini. “Kau masih sama ingin
tahunya seperti dulu, bocah.”
“Sampai
ketemu. Dan saya harap kita berjumpa lagi, Nona Mahalia.”
Mahalia
mendelik kepada pemuda itu, membalas salamnya dengan dengusan keras. “Akan
kuingat kau... Nat.”
“Sebuah
kehormatan.”
Selepas
kepergian si pemuda diiringi oleh kedua Eurevail yang tadi berjaga bersama
Hiram, Mahalia melirik sang Kapten dengan cemas.
“Kau...
tidak serius mau menyerahkanku kepada Perawan Api, tentunya?”
Sang
Kapten tidak segera menjawab. “Maafkan aku, Ma. Aku tidak sekedar mengancam
kali ini. Abbess Thalasa sendiri yang
memintaku untuk membawamu kepadanya untuk berbicara.”
“Berbicara!”
ulang Mahalia, melipat tangannya dengan marah. “Dan itu persisnya yang selalu
berusaha kuhindari selama beberapa minggu ini! Tapi ah, dia tahu aku tidak
pernah bisa menolakmu. Dasar licik.”
Hiram
tersenyum, mau tak mau melunak juga akhirnya. “Dengarkan aku, Ma. Aku tahu kau
merasa tertekan karena omongan-omongan para petinggi akhir-akhir ini, tapi
cobalah untuk setidaknya bertahan menjalani apapun yang mereka suruh. Aku yakin
ketika sudah waktunya nanti, mereka akan menyerah. Seperti yang selalu
kaubilang, pada akhirnya kaulah yang akan menentukan—bukan begitu?”
“Gampang
buatmu bicara begitu. Yang menjalani kan aku,” bantah Mahalia. “Para petinggi
itu... mereka membuatku gila. Mereka
memperlakukanku seperti wanita berumur yang tidak kunjung menikah, tapi
mengurungku seperti sejenis unggas suci...”
“Mereka
hanya tidak ingin Anak Gadis Marquelith berakhir dengan sembarang pemuda. Yang
menurutku, sangat bisa dimengerti.”
“Kau
mengerti mereka, tapi bagaimana denganku?” Mahalia kembali memprotes.
“Memangnya salah kalau aku berharap bisa menemukan cintaku sendiri, dan
bukannya membiarkan mereka memilihkan orang-orang tertentu? Maaf, tapi aku
bukan ibuku. Aku tidak sudi diperlakukan seolah-olah aku ini semacam hadiah
yang ditawarkan bagi para keturunan bangsawan manja yang berlomba-lomba menjilat
biara. Bukan pemuda-pemuda macam ini yang kuperlukan! Aku ingin cinta yang
mendebarkan!”
Perkataannya
yang panjang lebar ini diakhiri dengan sebuah desahan tragis. Tetapi semuanya
gagal mendapat pengertian dari sang Kapten, yang hanya bisa balik menatap si
gadis. Dahinya berkerut.
“Kupikir
kau terlalu banyak menonton pertunjukan drama picisan di pinggir kota,”
komentarnya datar. “Ini sebabnya, aku juga tidak setuju kau sering-sering
keluar. Ma, kau ini mudah sekali dipengaruhi.”
“Astaga!
Bagaimana kau bisa begitu tak punya hati?!”
“Ma,
aku khawatir pemuda yang akan memberimu ‘cinta yang mendebarkan’ tidak akan
pernah datang. Semua yang kaupikiran itu hanya ada di dalam tontonanmu... kau mengerti?
Kau perlu sedikit lebih realistis dalam menyikapi masalah ini.”
“Kenapa
aku harus mendengarkan perkataan ini darimu?”
Sepasang
mata Mahalia menatap pria di hadapannya lurus-lurus.
“Maaf?”
“Oh,
Kapten, kita berdua tahu kenapa kau masih sendirian sampai sekarang.”
“Ma,
kita tidak sedang bicara tentang aku,” Hiram mengingatkan dengan tegas begitu
menyadari maksud pembicaraan si gadis.
“Karena
semua ini ada hubungannya, kan?”
“Tidak,
aku tidak bisa melihat kaitannya. Masalahnya di sini adalah...”
“Lebih
terkait daripada yang kaupikir.”
Mahalia
berdiri goyah, menatap muram ke arah jalanan yang ditutupi daun, tetapi Hiram
menyipitkan matanya tak paham.
“Sudahlah,”
kata sang Kapten beberapa saat kemudian, sepertinya memutuskan begitu lebih
karena merasa perlu mengakhiri pembicaraan yang mulai tidak terasa nyaman
buatnya. “Kita akan bicara lagi lain waktu. Biar kuantar kau ke Bangunan Utama
untuk meminta mereka menyembuhkan cederamu. Setelah itu baru aku akan
mengantarmu kepada abbess Thalasa,
oke?”
Meski
wajahnya masih jauh dari cerah, Mahalia mengangguk.
“Bisa
tidak kita lewatkan saja yang terakhir?”
Hiram
tertawa sedikit. “Sayangnya tidak. Jangan berpikir terlalu banyak,” nasihatnya,
dan sambil mengatakan ini, dia menaruh tangannya di puncak kepala Mahalia. “Kau
hanya perlu menjawabnya seperti yang biasa kaulakukan. Dia tidak bisa melakukan
apa-apa terhadapmu. Kau Anak Gadis Marquelith kami yang berharga, ingat?”
“Itu
sudah pasti. Boleh aku bersandar padamu? Susah berjalan dengan keadaan begini.”
“Tentu
saja,” kata sang Kapten mengijinkan, tetapi tidak sebelum dia menarik lepas
sehelai kelopak bunga yang menyangkut di rambut Mahalia. “Endelmtas?”
“Ya,”
Mahalia mengiyakan sementara mereka berjalan bersisian menapaki jalan menuju
pusat kota. Yang satu jangkung dan tegap, yang satu mungil dan ringkih—berjalan
tertatih-tatih dalam rangkulan yang lain. “Mengingatkan akan banyak hal, bukan
begitu?”
***
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar